Tidak disebut ‘arif orang yang jika memberikan isyarat, ia
merasa Allah lebih dekat daripada isyaratnya. Namun, orang ‘arif adalah orang
yang tidak mempunyai isyarat karena telah sirna dalam wujud-Nya dan lenyap
dalam penyaksian terhadap-Nya.
“Memberi isyarat” ialah menunjukan sebagian rahasia Allah
dengan isyarat. “Merasa Allah lebih dekat” berarti ia merasa bahwa Allah selalu
hadir bersama-Nya dan tak pernah gaib, bahkan serasa Allah memerhatikan-Nya
saat ia menunjukan sebagian rahasia Ilahi itu.
Tentu, orang seperti ini bukanlah seorang ‘arif yang
sesungguhnya karena ia selalu merasa dirinya ada dan kekal. Pola pikirnya masih
seperti orang yang mahjub, karena mengandaikan adanya wujud sebanyak “yang
menunjukkan”, wujud objek “ yang ditunjukkan”, dan wujud media “yang digunakan
untuk menunjukkan”. Selama ia sadar dengan akalnya bahwa ia sedang menunjukkan
sesuatu, yaitu Allah, yang ditunjukkannya melalui media ucapan, maka artinya
selama itu pula ia tidak merasa dirinya sirna dan fana karena ia belum keluar
dari ranah indranya.
Isyarat lebih halus bentuknya daripada ungkapan karena ia
sekadar pertanda, bukan pernyataan. Isyarat kerap digunakan oleh ahli tarekat
di antara mereka saat mereka berdzikir. Mereka telah dibukakan oleh Allah
rahasia-rahasia tauhid, ilmu laduni, dan pengalaman-pengalamaan yang di dapat
melalui perasaan.
Orang yang mengisyaratkan sesuatu, namun selalu memerhatikan
isyaratnya walaupun ia sadar bahwa Allah lebih dekat kepadanya dan tidak gaib
darinya saat ia memberi isyarat maka orang ini tidak ‘arif. Ia tidak lenyap
dalam penyaksian terhadap-Nya. Orang ‘arif sekali walaupun isyarat itu terjadi
darinya karena ia telah melebur dan fana dalam wujud Allah. Ia lenyap dalam
penyaksian terhadap-Nya.
Maknanya, seorang ‘arif sejati adalah orang yang sirna dari
isyaratnya, yang diisyaratkan, dan alat isyaratnya. Jika terjadi isyarat
darinya, ia tidak menyatakannya dan tidak merasakannya karena yang
mengisyaratkan dan yang diisyaratkan saat itu hanya Allah swt. di sini ia
sedang melebur dengan penyaksian terhadap-Nya, bukan malah memisahkan diri dari
sana. Maka dari itu, siapa yang melakukan hal ini, berarti ia tidak lagi akan
melihat dirinya sendiri.
Syekh Yusuf al-‘Anjami berkata,”Siapa yang berbicara di
maqam peleburan, berarti ia seakan tidak berbicara. Yang berbicara adalah Yang
Maha Haq melalui lisan hamba-Nya.”
Ini sesuai dengan firman Allah dalam sebuah hadis qudsi,
“Dengan-Ku, dia (hamba) mendengar, dengan-Ku pula dia melihat, dan dengan-Ku
dia berbicara.”
Seseorang dari mereka ditanya tentang kefanaan diri
(peleburan diri). Ia menjawab,”keagungan dan kemuliaan Allah tampak pada diri
seorang hamba sehingga membuatnya lupa dunia dan akhirat, derajat dan ahwal,
maqam dan zikir. Dan ia merasa fana dari segala sesuatu, akalnya dirinya,
bahkan fana dari kefanaan itu sendiri sampai ia merasa tenggelam dalam
keagungan Ilahi.”
No comments:
Post a Comment