Artinya, berteman
dengan orang yang kualitas kebaikannya berada dibawahmu amat berbahaya karena
bisa menyamarkan aib dan kekuranganmu. Akibatnya, kau akan selalu berbaik
sangka terhadap dirimu sendiri. Kau bangga dengan amalmu dan merasa puas dengan
kondisimu sehingga kau rela hati dan selalu melihat kebaikan-kebaikanmu. Itu
adalah pangkal segala keburukan.
Boleh saja kau
berteman dengan orang yang keadaanya tidak membuatmu bersemangat dan ucapannya
tidak membimbingmu ke jalan Allah asalkan orang itu sederajat denganmu agar
pertemananmu dengannya tidak membahayakanmu.
Disini Ibnu
Atha’illah ingin menjelaskan bahwa pertemanan dengan orang-orang ’arif terbagi menjadi dua ; pertemanan yang
didasari keinginan dan pertemanan yang mengharap berkah.
Pertemanan yang
didasari keinginan ialah pertemanan yang harus memenuhi syarat-syaratnya.
Kesimpulannya, keberadaan seorang murid dengan syekh atau gurunya seperti
seonggok mayat di tangan para pemandi mayat.
Adapun pertemanan
untuk mengharap berkah ialah pertemanan yang tujuannya masuk ke satu kaum dan
berpakaian dengan pakaian mereka, serta tunduk pada peraturan mereka. Di sini
tidak perlu ada syarat-syarat pertemanan. Yang paling penting adalah bagaimana
ia berpegang pada batasan-batasan syara’. Diharapkan dari pertemanannya dengan
kaum itu, ia akan mendapatkan berkah mereka dan bisa sampai ke maqam yang telah
mereka raih.
No comments:
Post a Comment