Friday, October 30, 2015

Pemberian dari makhluk adalah keterhalangan, sedangkan penangguhan pemberian dari Allah merupakan karunia.

Jika kau terima pemberiaan dari seorang manusia seraya kau lalai dari Tuhanmu, maka pemberian itu sejatinya merupakan keterhalanganmu dari karunia Allah. Karena dalam hal ini kau tidak melihat Allah dan terlalu menggantungkan diri pada nasib mujurmu.

Jika Allah enggan memberimu, sesungguhnya itu adalah karunia untukmu. Dengan cara itu, hatimu tidak akan pernah melupakan-Nya. Walaupun secara lahir Allah tidak memberimu, namun secara batin itu adalah pemberian-Nya kepadamu. Allah memaksamu untuk berdiri di depan pintu-Nya dan membebaskanmu dari hijab-Nya.

Kesimpulannya, pemberian dari makhluk adalah keterhalangan karena di dalamnya tersimpan kecintaanmu terhadap mereka akibat pemberian itu. Kau pasti selalu mengikuti keinginan mereka agar bisa mengambil pemberian itu. Sementara itu, penangguhan pemberiaan Allah merupakan kebaikan untukmu karena Dia adalah kekasihmu. Setiap yang dilakukan seorang kekasih, tentu dicintai oleh yang mengasihinya. 

Perjalanan singkat yang sesungguhnya adalah bila memperpendek jarak dunia sehingga engkau dapat melihat akhirat lebih dekat kepadamu.

“memperpendek jarak dunia” adalah dengan menjahuinya, tidak menyibukkan diri dengan kenikmatan dan syahwatnya, dan tidak terlena disana. “
“Akherat lebih dekat” bermakna ia selalu di depan matamu dan tidak jauh dari hatimu. Inilah singkatnya perjalanan yang sebenarnya. Dengannya, Allah memuliakan para wali-Nya. Dengannya pula, ‘ubudiyyah mereka terwujud sempurna.

Singkatnya perjalanan bukan dengan dipendekkannya jarak bumi untuk para pengembara yang mencari kebenaran karena bisa jadi pengembaraan mereka hanyalah kedok dan tipuan belaka. Bukan pula dengan disingkatnya malam dan siang bagi orang yang banyak bangun malam dan berpuasa karena bisa jadi, amalnya itu mungkin disertai Riya’ dan ‘ujub sehingga akibatnya malah kerugian.

Jarak dunia ini tidak mungkin bisa disingkat untuk seorang hamba, kecuali cahaya keyakinan dalam hatinya terpancar. Saat itu, dunia akan sirna dari matanya dan dia melihat akhirat hadir di hadapannya atau ada pada dirinya. Siapa yang penyaksiaanya seperti ini maka pada dirinya tidak aka nada kecintaan terhadap dunia karena ia menggantinya dengan yang lebih abadi yaitu akhirat.


Apabila cahaya keyakinan (nurul yaqin) belum terpancar dari hatinya, ia akan selalu mencintai dunia, merasa tenan dan nyaman, lebih mengutamakannya daripada akhirat dan menjauhi Tuhannya. Hal itu dikarenakan, keyakinan dan ketaqwaannya lemah.

Jika engkau menginginkan kemuliaan yang abadi, jangan membanggakan kemuliaan yang fana.

Jika kau menghendaki kemuliaan abadi, jauhilah segala sebab dan yakinlah dengan adanya Sang Pencipta sebab.
Pencipta sebab adalah Tuhan Yang abadi sehingga ketergantunganmu kepada-Nya menjadi sumber kemuliaan yang abadi.

Jangan kau tertipu dengan kemuliaan yang fana, misalnya dengan menyadari sebab, dan tidak menyadari siapa Penciptanya. Karena sebab itu fana, ketergantunganmu terhadap sebab menjadi sumber kemuliaan yang tidak abadi.

Apabila kau merasa mulia karena Allah, kemuliaanmu akan abadi dan tak seorang pun yang mampu menghinakanmu. Namun, jika kau mendapat kemuliaan dari selain-Nya, seperti dari harta, kehormatan dan kedudukan dan kau merasa puas serta menjadikannya sandaran, lalu kau lalai dari Tuhanmu, maka tak ada keabadian bagi kemuliaanmu itu. Tak ada kemuliaan pada sesuatu yang kau banggakan selain Tuhan.

Oleh sebab itu, ketika seorang ‘arif mendengar suara seseorang yang menangis, ia bertanya kepadanya, “Ada apa denganmu?” orang itu menjawab, “ Guruku meninggal dunia.”

Kemudian orang ‘arif itu berkata, “Mengapa kau anggap gurumu yang mati?”

Ketika Dia membukakan pintu pemahaman kepadamu tentang mengapa kau tidak diberi, hal itu merupakan bentuk pemberian.

Ketika Dia membukakan pintu pemahaman kepadamu tentang mengapa kau tidak diberi, hal itu merupakan bentuk pemberian.


Ketika kau meminta namun tidak diberi, lalu kau paham tidak adanya pemberian itu merupakan salah satu bentuk rahmat-Nya untukmu (karena Dia Mahatahu bahwa itulah yang terbaik untukmu), dan bahwa Tuhanmu sedang memperlihatkan kuasa-Nya dihadapanmu, maka pemahaman semacam itulah sejatinya pemberian untukmu dari-Nya.

Monday, October 26, 2015

Bisa jadi, Allah memberimu (kesenangan dunia), namun menghalangimu (dari taufik-Nya). Bisa pula Dia menghalangimu (dari kesenangan dunia), namun memberimu (taufik).

Bisa jadi, Allah memberimu (kesenangan dunia), namun menghalangimu (dari taufik-Nya). Bisa pula Dia menghalangimu (dari kesenangan dunia), namun memberimu (taufik).

“Taufik” ialah bimbingan untuk melakukan ketaatan serta mendekatkan diri kepada-Nya dan memahami-Nya.

Allah mungkin memberimu kesenangan dan kenikmatan dunia. Namun, Dia menghalangimu dari bimbingan-Nya untuk menaati, mendekati dan memahami-Nya. Mungkin juga Allah menghalangimu dari kesenangan dunia, namun dia memberi bimbingan-Nya.

Halangan Allah kepadamu untuk menikmati syahwatmu dan menikmati kesenangan alam semesta, meski disertai buruknya kebiasaan ibadahmu, merupakan karunia yang besar dari-Nya. Allah telah menetapkannya untukmu dan memutusmu dari kepentingan dan tujuan-tujuanmu.


Sebaliknya, ketika Allah memberimu kesenangan dunia, walaupun secara lahir tampak seperti pemberian, jangan kau lihat lahirnya saja. Lihatlah hakikatnya, saat itu, seorang hamba wajib menyerahkan putusan, pengaturan dan pilihan kepada Tuhannya. 

Semasa lapang, nafsu bisa memainkan perannya melalui rasa gembira. Semasa sempit, nafsu tidak bisa berbuat apa-apa.

Dalam hikmah ini terdapat penegasan tentang hikmah sebelumnya bahwa menjaga etika saat lapang amat sulit. Sebab, tak ada yang bisa menjaga etika dalam kondisi itu kecuali segelintir orang,

Seakan Ibnu Atha’illah berkata, “Memang demikian adanya karena hawa nafsu selalu memainkan perannya dalam kondisi kelapangan.”

Biasanya, saat lapang, hawa nafsu menjadi lalai, melupakan kewajiban, mengaku-aku memiliki ilmu, pemahaman, ahwal batin dan rahasia-rahasia, selalu berbicara tentang kemampuan khusus, menikmati hal-hal luar biasa, menyinggung masalah karamah, dan bersuara tentang maqam masing-masing. Semuanya itu bertentangan dengan prinsip ‘ubudiyyah.


Sebaliknya, di dalam kesempitan, nafsu tidak merasa beruntung dan memilki peran apa-apa. Nafsu tidak akan sombong dengan menampakkan sesuatu yang menjadi miliknya. Dengan begitu, kesempitan lebih aman dan lebih membentuk kemampuan untuk menunaikan etika-etika ‘ubudiyyah. Oleh karena itu, orang-orang ‘arif lebih mengutamakan kesempitan daripada kelapangan.

Sunday, October 25, 2015

Orang-orang ‘Arif Lebih Mengkhawatirkan Kelapangan daripada Kesempitan

Kaum ‘arif lebih khawatir ketika diberi kelapangan daripada ketika diberi kesempitan, karena yang bisa menjaga etika saat berada dalam kelapangan hanyalah sedikit.

Mereka amat mengkhawatirkan diri mereka jika diberi Allah kelapangan. Bagi mereka, kelapangan lebih cocok dengan hawa nafsu. Saat itu, mereka takut terjerumus oleh dorongan hawa nafsu untuk berbicara tentang ahwal, karamah, dan keistimewaan lain yang mereka miliki. Mungkin disitulah letak keterusiran dan keterasingan mereka. Terkadang pula, pada saat itu, dari diri mereka terucap ucapan yang tidak sesuai dengan keagungan Tuhan. Saat itulah mereka dituntut untuk selalu menjaga adab dan menahan diri. Itulah amat sulit bagi mereka dalam kondisi ini.

Oleh sebab itu, Ibnu Atha’illah berkata,”Yang bisa menjaga adab pada saat berada  dalam kelapangan hanyalah sedikit.”

Dalam latha’if al-Minan disebutkan bahwa kelapangan dapat menggelincirkan kaki orang-orang. Ia menuntut agar mereka lebih waspada dan berhati-hati. Kesempitan lebih dekat kepada keselamatan karena ia merupakan tempat hamba berada dalam genggaman Allah. Di sana pula kuasa Allah meliputinya. Dari manakah gerangan datangnya kelapangan? Dari Allah.


Kelapangan sama dengan keluar dari hukum waktu-Nya, sedangkan kesempitan adalah keadaan yang memang layak ada di dunia ini. Karena dunia adalah negeri yang penuh beban, misteri tentang masa depan, ketidaktahuan tentang masa lalu dan tempat tuntutan pelaksanaan hak-hak Allah. 

Saturday, October 24, 2015

Dia memberimu kelapangan agar kau tidak terus berada dalam kesempitan. Dia memberimu kesempitan agar kau tidak terus berada dalam kelapangan.

Dia memberimu kelapangan agar kau tidak terus berada dalam kesempitan. Dia memberimu kesempitan agar kau tidak terus berada dalam kelapangan. Dia mengeluarkanmu dari kelapangan dan kesempitan agar kau tidak bergantung kepada selain-Nya.

Saat dalam kesempitan, kau merasa tertekan dan sakit. Saat lapang, kau akan merasa beruntung dan senang, Allah akan mengeluarkanmu dari kesempitan dan kelapangan dengan cara membuatmu merasa fana dan kau memilih abadi dengan-Nya.

Oleh karena itu, jangan terus-menerus berada dalam sifat dan keadaanmu yang menyakitkan atau menyenangkan agar itu tidak menjadi hijab antara dirimu dengan Tuhanmu dan agar kondisimu seimbang dan berada di tengah, tidak sempit, tidak pula lapang.

Maknanya, warnailah keadaan batinmu agar kau bisa menaklukannya dan merasa fana darinya. Kesempitan diperuntukan bagi orang-orang ‘arif pemula. Sekiranya tanpa kesempitan, hakikat-hakikat mereka tidak akan terkumpul dan tidak terhenti dari keinginan dan syahwat.

Adapun kelapangan diperuntukkan bagi orang-orang yang mendapatkan cahaya awal kemenangan agar mereka mengerahkan segenap kekuatannya dan merasa nyaman dengan embusan napas Tuhan dan tanda-tanda penyaksian terhadap keridaan-Nya.

Sementara itu, keseimbangan diperuntukan bagi ahli nihayah (orang yang mendapat tujuan akhir perjalanannya) agar ahwal mereka lurus, amal mereka bersih dan mereka selalu berada di hadapan Tuhan tanpa cacat dan kekurangan.

Kesimpulannya, kesempitan dan kelapangan merupakan kondisi yang masih kurang karena masih membutuhkan eksistensi dan keberadaan seorang hamba di dunia. Namun, keduanya dapat membuat hamba itu menjadi tegar.

Itu merupakan salah satu tanda kelembutan Allah kepada hamba-Nya. Allah mewarnai hamba-Nya dengan dua kondisi itu, lalu mengeluarkannya dari sana dengan menjadikan hamba itu merasa fana dan berada bersama-Nya. Kesempitan dan kelapangan adalah kondisi kaum ‘arif pemula. Pada masa-masa itu, mereka masih tercemari. Persis seperti murid pemula yang keadaanya diwarnai harapan dan takut. Kendati demikian, keduanya tetap berbeda. Harap dan takut dirasakan murid berkaitan dengan perkara yang diperkirakan akan terjadi di masa mendatang, baik itu yang di takuti maupun yang dicintai.

Adapun kesempitan dan kelapangan yang menimpa kaum ‘arif berkaitann dengan perkara yang tidak diperkirakan kedatangannya. Jika perkara yang tiba-tiba datang itu adalah perkara yang ditakuti, itu adalah kesempitan. Jika perkara yang tiba-tiba datang itu adalah perkara yang dicintai, itu adalah kelapangan.


Sebab adanya kesempitan dan kelapangan itu adalah asupan-asupan yang masuk ke dalam batin seorang ‘arif. Jika yang masuk kedalam hati adalah asupan keagungan Ilahi, terjadilah kesempitan. Jika asupannya berupa keindahan Ilahi, terjadilah kelapangan. 

Thursday, October 22, 2015

Alam ini lahirnya berupa tipuan, sedangkan batinnya berupa pelajaran.

Alam ini lahirnya berupa tipuan, sedangkan batinnya berupa pelajaran. Diri (nafsu) melihat kepada lahirnya yang menipu, sedangkan kalbu melihat kepada batinnya yang menjadi pelajaran.

Maksud “alam” disini adalah segala kenikmatan dan pernak-pernik duniawi yang didalamnya nafsu meraih keuntungannya. Alam membuat jiwa tertipu karena keindahan dan kilauannya. Namun hakikatnya, alam sesungguhnya adalah objek untuk diambil pelajarannya dan dijauhi karena keburukan, kehinaan dan kefanaannya.

Secara lahir, alam ini indah dipandang, sedangkan secara batin, ia amat buruk. Siapa yang melihat kepada lahirnya, ia akan mendapatinya hijau, indah dan menyilaukan. Pasti ia tertipu karenanya dan akan suka melihatnya. Namun, siapa yang melihat hakekat batinnya, ia akan mendapatinya kering, mati dan kotor sehingga akan menjadikannya bahan pelajaran dan menjauhinya.


Nafsu selalu melihat kepada hiasan alam yang menyilaukan sehingga ia tertipu dan pemiliknya akan binasa. Namun, kalbu akan melihat pada batinnya atau keburukannya sehingga ia akan berkaca disana dan terhindar dari keburukannya.

Keinginan Orang-orang ‘arif adalah Penghambaan yang Sebenarnya

Yang diminta seorang ‘arif dan Allah adalah ketulusan dalam beribadah dan pemenuhan hak-hak Tuhan-Nya.

Yang diminta orang ‘arif ini lebih tinggi daripada yang diminta oleh orang selainnya, baik itu ahli ibadah, zahid maupun alim. Hal itu dikarenakan, yang diminta oleh orang ‘arif hanyalah bagaimana bisa tulus dalam beribadah dan menghambakan diri, yakni dengan memerhatikan etika penghambaan, berakhlak dengan akhlak hamba, dan melaksanakan hak-hak Allah.

Hak-hak Allah itu adalah bersyukur atas karunia-Nya, bersabar atas musibah-Nya, memusuhi orang yang memusuhi-Nya, menjadikan penolong orang yang menolong-Nya, bertawakal kepada-Nya, merasa diawasi-Nya (muraqabah), berdiri di hadapan pintu-Nya sambil mengenakan pakaian tawadhu’ dan kerendahan, mengulurkan tangan kepada yang butuh, memegang tali harapan kepada-Nya, mengenakan serban ketakutan di hadapan-Nya, serta sifat-sifat dan akhlak ‘ubudiyyah lainnya.

Siapa yang tulus dalam mengerjakan itu semua berarti ia telah menunaikan segala kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya. Contoh memenuhi hak-hak Tuhannya secara lahir adalah dengan taat secara lahir, muraqabah secara batin dan selalu merasakan kehadiran-Nya dalam dirinya.

Hikmah diatas menjelaskan bahwa seorang ‘arif hanya meminta dua perkara, tanpa memerhatikan keuntungan diri, Artinya, orang-orang ‘arif memisahkan antara tujuan dan keuntungan diri dalam permintaan mereka. Sementara itu, yang lain tidak pernah memisahkan antara keuntungan dengan tujuan. Oleh sebab itu, permintaan ‘arif lebih tinggi daripada permintaan selainnya.


Abu Madyan berkata,” Ada perbedaan antara orang yang tekadnya bidadari dan istana surga dengan orang yang keinginannya tersingkap hijab dan hadir bersama Allah.”

Wednesday, October 21, 2015

Perbedaan antara Harapan dan Angan-angan

Harapan mesti disertai amal. Jika tidak, ia hanyalah angan-angan.

Harapan yang sesungguhnya ialah harapan yang memotivasi seorang untuk bersungguh-sungguh dalam bekerja dan beramal. Biasanya, orang yang berharap sesuatu, dia akan mencarinya. Orang yang takut terhadap sesuatu, dia akan menghindarinya.

Jika harapan tidak dibarengi amal, bahkan pelakuknya malas dan enggan bekerja, serta justru mendorong kepada maksiat dan dosa, menurut para ulama, itu hanyalah angan-angan, bukan harapan sesungguhnya. Ia bukanlah harapan, melainkan ketertipuan.

Allah swt. berfirman,”Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang buruk) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata,’kami akan diberi ampun’” (QS. Al-A’raf:169)


Rasullulah saw. Bersabda ,”Orang yang baik ialah orang yang menghinakan dirinya sendiri dan beramal untuk masa setelah kematian, sedangkan orang yang buruk ialah yang mengikuti hawa nafsunya dan berharap dari Allah dengan harapan-harapan palsu.”

Tidak disebut ‘arif orang yang jika memberikan isyarat, ia merasa Allah lebih dekat daripada isyaratnya

Tidak disebut ‘arif orang yang jika memberikan isyarat, ia merasa Allah lebih dekat daripada isyaratnya. Namun, orang ‘arif adalah orang yang tidak mempunyai isyarat karena telah sirna dalam wujud-Nya dan lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya.

“Memberi isyarat” ialah menunjukan sebagian rahasia Allah dengan isyarat. “Merasa Allah lebih dekat” berarti ia merasa bahwa Allah selalu hadir bersama-Nya dan tak pernah gaib, bahkan serasa Allah memerhatikan-Nya saat ia menunjukan sebagian rahasia Ilahi itu.

Tentu, orang seperti ini bukanlah seorang ‘arif yang sesungguhnya karena ia selalu merasa dirinya ada dan kekal. Pola pikirnya masih seperti orang yang mahjub, karena mengandaikan adanya wujud sebanyak “yang menunjukkan”, wujud objek “ yang ditunjukkan”, dan wujud media “yang digunakan untuk menunjukkan”. Selama ia sadar dengan akalnya bahwa ia sedang menunjukkan sesuatu, yaitu Allah, yang ditunjukkannya melalui media ucapan, maka artinya selama itu pula ia tidak merasa dirinya sirna dan fana karena ia belum keluar dari ranah indranya.

Isyarat lebih halus bentuknya daripada ungkapan karena ia sekadar pertanda, bukan pernyataan. Isyarat kerap digunakan oleh ahli tarekat di antara mereka saat mereka berdzikir. Mereka telah dibukakan oleh Allah rahasia-rahasia tauhid, ilmu laduni, dan pengalaman-pengalamaan yang di dapat melalui perasaan.

Orang yang mengisyaratkan sesuatu, namun selalu memerhatikan isyaratnya walaupun ia sadar bahwa Allah lebih dekat kepadanya dan tidak gaib darinya saat ia memberi isyarat maka orang ini tidak ‘arif. Ia tidak lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya. Orang ‘arif sekali walaupun isyarat itu terjadi darinya karena ia telah melebur dan fana dalam wujud Allah. Ia lenyap dalam penyaksian terhadap-Nya.

Maknanya, seorang ‘arif sejati adalah orang yang sirna dari isyaratnya, yang diisyaratkan, dan alat isyaratnya. Jika terjadi isyarat darinya, ia tidak menyatakannya dan tidak merasakannya karena yang mengisyaratkan dan yang diisyaratkan saat itu hanya Allah swt. di sini ia sedang melebur dengan penyaksian terhadap-Nya, bukan malah memisahkan diri dari sana. Maka dari itu, siapa yang melakukan hal ini, berarti ia tidak lagi akan melihat dirinya sendiri.

Syekh Yusuf al-‘Anjami berkata,”Siapa yang berbicara di maqam peleburan, berarti ia seakan tidak berbicara. Yang berbicara adalah Yang Maha Haq melalui lisan hamba-Nya.”

Ini sesuai dengan firman Allah dalam sebuah hadis qudsi, “Dengan-Ku, dia (hamba) mendengar, dengan-Ku pula dia melihat, dan dengan-Ku dia berbicara.”


Seseorang dari mereka ditanya tentang kefanaan diri (peleburan diri). Ia menjawab,”keagungan dan kemuliaan Allah tampak pada diri seorang hamba sehingga membuatnya lupa dunia dan akhirat, derajat dan ahwal, maqam dan zikir. Dan ia merasa fana dari segala sesuatu, akalnya dirinya, bahkan fana dari kefanaan itu sendiri sampai ia merasa tenggelam dalam keagungan Ilahi.”

Tuesday, October 20, 2015

Sedih karena kehilangan kesempatan berbuat ketaatan, namun tanpa disertai upaya untuk bangkit mengerjakannya, merupakan salah satu tanda ketertipuan.

Kesedihan seperti ini biasanya merupakan akibat ketergantungan atas sesuatu yang tidak ada wujudnya. Inilah kesedihan semu yang biasanya disertai dengan tangisan yang juga semu. Dalam pepatah disebutkan,”Berapa banyak mata yang meneteskan air mata, tetapi hati tetap keras.”

Orang yang bersedih semu itu akan merasa aman dari makar Allah yang tersamar. Allah akan menahan apa yang berguna baginya dan memberi apa yang membuatnya sedih dan menangis. Dengan begitu, ia menganggap baik ahwalnya dan menganggap dirinya berguna. Adapun kesedihan yang tulus dan sungguh-sungguh adalah yang mendorong kepada ketaatan dan diiringi dengan tangisan yang benar. Ini adalah maqam para salik.


Abu Ali ad-Daqqaq yang selalu bersedih menututkan bahwa ia meniti jalan Allah dalam sebulan seperti orang yang pernah menempuh jalan Allah selama bertahun-bertahun. 

Sebaik-baik yang kauminta kepada-Nya adalah apa yang Dia tuntut darimu.

Sebaik-baik perkara yang kauminta dari Allah adalah yang Allah minta darimu, berupa sikap istikamah di jalan ‘Ubudiyyah. Ini lebih baik bagimu daripada permintaanmu berupa nasib dan keinginan dunia atau akhiratmu karena itu hanyalah keuntungan bagi dirimu sendiri. 

Monday, October 19, 2015

Ketika Allah menganugerahimu ketaatan dan engkau merasa cukup dengan-Nya, berarti Dia telah mencurahkan nikmat-Nya, lahir dan batin.

“Ketaatan” ialah melaksanakan segala perintah dan menjahui larangan secara lahir. Adapun makna “merasa cukup dengan-Nya” adalah kau tidak terlalu bergantung pada ketaatan itu dalam mendapatkan keinginanmu, tetapi hanya bergantung kepada Tuhanmu dan menyisihkan segala hal selain-Nya.


Jika demikian, ketahuilah bahwa Allah telah menganugerahkan segala karunia-Nya, baik yang lahir, seperti ketaatan, maupun yang batin, seperti makrifat yang mewajibkanmu untuk mengabaikan dan tidak melihat selain-Nya.

Jika engkau ingin mengetahui kedudukanmu disisi Allah, perhatikanlah Dia menempatkanmu.

Apakah kau termasuk orang-orang maqbul (diterima amalnya) dan bahagia, ataukah termasuk orang-orang yang mardud (ditolak amalnya) dan menderita? Jika kau ingin tahu dirimu, perhatikan di mana Allah menempatkanmu, apakah di dalam ketaatan atau sebaliknya?

Siapa yang termasuk orang-orang maqbul dan bahagia, maka Allah mempekerjakannya dalam amal yang di ridhai-Nya, berupa bermacam ketaatan. Siapa yang termasuk orang yang mardud dan menderita maka Allah akan mempekerjakannya dalam hal yang dibenci-Nya, berupa ragam pelanggaran. Ini berlaku bagi orang-orang awam. Adapun bagi orang-orang khusus (khawwash) maka kalimatnya adalah, “Jika kau ingin tahu kedudukanmu di sisi-Nya, apakah kau termasuk muqarrabin atau tidak, lihatlah di mana Allah menempatkanmu dan pengetahuan apa yang di berikan-Nya ke dalam hatimu?”

Rasullullah saw. Bersabda,”Siapa yang ingin tahu kedudukannya di sisi Allah, hendaknya ia mengetahui kedudukan Allah di hatinya.”

Tanda-Tanda Diterimanya Sebuah Amal

Siapa yang merasakan buah amalnya di dunia maka itu bukti bahwa amalnya diterima di akherat.

Yang dimaksud dengan “buah amal di dunia” adalah kenikmatan dalam beramal. Bila seorang sudah merasakan nikmatnya beramal, itu berarti bahwa amal tersebut telah diterima Allah selagi masih di dunia.

Abu Turab berkata,”Jika seorang hamba tulus dalam amalnya, ia akan mendapatkan manisnya amal itu sebelum mengerjakannya. Jika ia ikhlas dalam amalnya, ia akan mendapatkan manisnya amal itu saat mengerjakannya.”

Amal yang memiliki sifat-sifat seperti ini akan diterima Allah. Bila Allah telah menerima amal seorang amal di dunia, itu adalah tanda bahwa kelak di akherat, Dia akan memberinya pahala, sebagaimana yang akan dijelaskan.


Sekalipun telah merasakan manisnya beramal, seorang hamba tidak layak untuk terlena dan merasa bahagia terlebih dahulu. Ia juga tidak layak berharap agar amal tersebut terus berlangsung lantaran ia merasa nikmat dan mujur di dalamnya. Hal itu bisa merusak keikhalasannya dalam beribadah dan ketulusan niatnya.

Sunday, October 18, 2015

Allah Menjadikan Akhirat Balasan bagi Para Kekasih-Nya, karena Dunia tidak mungkin bisa menampung balasan itu

Allah menjadikan negeri akhirat sebagai tempat memberi balasan kepada para hamba-Nya yang beriman karena negeri (dunia) ini tidak tidak bisa menampung pemberian yang Dia kehendaki kepada mereka. Juga karena Dia hendak memuliakan mereka dengan tidak mau memberikan balasan di negeri yang tidak kekal ini.

Dunia tidak bisa menampung segala kenikmatan indrawi maupun maknawi. Pertama, karena dunia ini sempit. Seperti disebut dalam khabar, di akhirat Allah memberikan kepada setiap mukmin sebuah kerajaan yang luasnya sepanjang perjalanan selama tujuh ratus tahun. Bagaimana halnya dengan orang-orang mukmin yang khusus (khawwash)? Tentu jarak dan luas dunia ini tidak akan cukup menampung seluruh pahala mereka.

Kedua, karena dunia penuh dengan kekurangan, rendah dan hina. Sementara itu, segala kenikmatan di surga sangat mulia, tinggi dan berharga. Sebagaimana disebut dalam khabar, tempat satu depa di surga lebih baik daripada dunia dan seisinya. Cahaya gelang para bidadari disana mengalahkan silaunya cahaya matahari.


Allah ingin memuliakan para hamba-Nya dengan tidak memberikan balasan di dunia, negeri yang tidak kekal ini. Segala hal yang fana, walaupun masanya panjang akan sirna. Allah akan memberi mereka keabadian dalam nikmat dan kerajaan di surge-Nya.

Menjawab Semua yang Ditanyakan adalah Tanda Kebodohan

Bukti kebodohan seseorang adalah selalu menjawab semua pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat dan menyebut semua yang diketahui.

Seorang murid atau seorang ‘arif dianggap bodoh jika ia selalu menjawab, dengan mengungkapkan semua yang dilihat dan dirasakan batinnya, saat ditanya tentang ilmu yang diberikan Allah kepadanya. Mengapa disebut bodoh? Karena seharusnya ia mengerti bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu dibutuhkan penguasaan yang baik atas ilmu yang bersangkutan. Dan itu amat mustahil. Allah swt. berfirman,”Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS.al-Isra’:85)

Semestinya, ia juga memerhatikan kondisi penanya karena tidak semua orang layak bertanya seperti itu atau cukup mengerti ketika mendengar jawaban atas pertanyaan seperti itu. Menjawab pertanyaan orang semacam ini adalah sebuah kebodohan.

Mengungkapkan semua yang disaksikan sama dengan menyebarkan rahasia yang semestinya disimpan. Orang-orang yang bijak berkata, “Hati orang-orang merdeka merupakan kuburan rahasia. Rahasia adalah amanat Allah pada seorang hamba.”

Menyebarkan rahasia ke semua orang adalah tindakan khianat atau tidak amanah. Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman atas perkara-perkara gaib cukup dengan menggunakan isyarat atau anggukan. Bila dijawab dengan kata-kata, itu sama saja dengan mengumumkan dan menyebarkan rahasia ke khalayak ramai. Lagi pula, menjelaskan perkara-perkara gaib dengan kata-kata justru hanya akan membuatnya semakin tidak jelas dan tertutup karena sulit di ungkapkan dengan kata-kata.

Selain itu mengungkapkan semua yang diketahui merupakan bukti tidak adanya kemampuan dalam memilah-milah ilmu pengetahuan. Bisa jadi, di antara ilmu yang diketahuinya itu ada yang tak layak untuk diberitahukan kepada orang lain karena bisa membahayakan, mendatangkan kerusakan, atau penolakan manusia. Rasullullah saw. Bersabda, “Diantara ilmu ada yang bagaikan mutiara berlumuran tanah yang tidak diketahui (bahwa itu mutiara), kecuali oleh ulama yang mengenal Allah. Jika ilmu itu diperlihatkan kepada manusia, niscaya orang-orang yang lalai kepada Allah akan menolaknya.”

Ali bin Al-husain bin Ali berkata,”banyak inti ilmu yang jika aku kemukakan semuanya, orang-orang akan menganggapku termasuk penyembah berhala, dan pasti banyak pula orang-orang muslim yang menghalalkan darahku. Oleh karena itu, aku selalu menyembunyikan inti ilmuku agar orang-orang bodoh tidak guncang ketika menyaksikan Yang Maha Haq”

Abu Hurairah ra. berkata,” Aku mendapat dua kantong ilmu dari Rasullullah saw. Satu kantong kusebarkan ke suluruh manusia. Yang lain tidak kusebarkan. Sekiranya kusebarkan, pasti kalian akan menggorok leherku ini.”

Oleh sebab itu, al-Hallaj dibunuh setelah menyebarkan sedikit rahasia ilmunya. Yaitu ia berkata,” Di balik jubah ini adalah Allah.” Ini diungkapkannya karena setiap orang yang dekat kepada Allah pasti merasa bahwa yang ada hanyalah Allah atau bahwa Allah itu menampakkan Diri-Nya dalam segala sesuatu. Itulah puncak dari kemampuan mereka dalam mengungkapkan pengalaman mereka. Sebetulnya ini adalah perkara yang tidak bisa diketahui, kecuali lewat dzauq.

Kebenaran yang dilihat dan diketahui oleh setiap hamba adalah sama. Akan tetapi, itu akan berbeda manakala di ungkapkan melalui kata-kata. 

Saturday, October 17, 2015

Dua Macam Hamba Allah : Muqarrabin dan Abrar

Jangan kau pandang sebelah mata seorang hamba yang telah ditetapkan, dilanggengkan, dan di tolong Allah dalam melaksanakan berbagai wirid, hanya karena kau tidak melihat dalam dirinya tanda orang-orang ’arif atau kegenitan kaum pencinta Tuhan. Sebab, kalau tidak ada limpahan karunia dari Allah, tentu wirid dari orang itu tidak akan pernah ada.

”Ditolong” ialah dipalingkan dari kesibukan-kesibukan yang membuat hamba tersebut lupa melakukan wirid. Adapun makna ”dilanggengkan” di sini adalah dibuat terus melaksanakan wirid itu sepanjang zaman. Ini adalah sifat para zahid dan ’abid.

”tanda orang-orang ’arif” ialah karakter orang-orang ’arif yang meninggalkan ikhtiar dan tidak memedulikan nasib dan keinginan  diri mereka, serta selalu hadir di hadapan Allah. Adaun maksud ”kegenita para pencinta Tuhan” ialah bukti-bukti dan pengaruh cinta yang tampak pada diri orang-orang yang mencintai Allah (muhibbin). Jika sudah tertanam dalam hati, pengaruh cinta kepada Allah akan tampak pada seluruh anggota tubuh. Misalnya adalah sering berzikir dan mengingat-Nya, segera melaksanakan perintah-Nya dan mengabaikan selain-Nya. Ia selalu berusaha melayani-Nya, menikmati munajat kepada-Nya, dan lebih mengutamakan-Nya daripada selain-Nya.

Ibnu Atha’illah melarang untuk meremehkan orang semacam itu (yakni yang istikamah melakukan wirid, namun tidak terlihat pada dirinya tanda-tanda kaum ’arif dan pencinta Tuhan). Alasannya kalau tidak ada limpahan karunia dari Allah, tentu orang itu tidak akan melakukan wirid dan istikamah dalam berwirid.

”Wirid” bermakna segala amal ibadah yang dihasilkan dari upaya mujahadah seorang hamba, baik itu berupa shalat, puasa, zikir maupun ibadah lainnya. Dengan demikian, jika kau meremehkan orang seperti itu, itu artinya kau sudah berlaku tidak sopan terhadapnya.


Kesimpulannya, hamba-hamba Allah yang khusus (khawwash) terbagi menjadi dua golongan : muqarrabin dan abrar. Muqarrabin adalah orang-orang yang tidak memedulikan nasib dan keinginan diri mereka, serta lebih mengedepankan pelaksanaan hak-hak Allah sebagai bentuk penghambaan (’Ubudiyyah) kepada-Nya dalam mencari ridha-Nya. Mereka adalah kaum ’arif sekaligus muhibbin (pencinta Allah). Sementara itu, abrar ialah orang-orang yang dalam ibadah mereka masih memedulikan nasib dan keinginan diri. Mereka melaksanakan ibadah kepada Allah karena ingin mendapat surga dan selamat dari neraka. Sekalipun demikian, Allah tetap memberikan pertolongan-Nya kepada kedua golongan ini sesuai maqam mereka masing-masing.

Sanksi yang Ditangguhkan Bisa Jadi merupakan Istidraj

Sanksi yang Ditangguhkan Bisa Jadi merupakan Istidraj (Sanksi yang Ditimpakan secara berangsur-angsur dan Tanpa disadari)

Di antara tanda kebodohan seorang murid adalah jika bersikap tidak sopan, tetapi hukuman untuknya ditangguhkan, ia justru berkata,”Jika ini adalah sikap tidak sopan, tentu aku sudah tidak ditolong lagi dan di jauhi”. Bisa jadi, ia memang sudah tidak ditolong lagi. Namun, ia tidak menyadarinya karena mungkin bentuknya hanya berupa tidak ditambahnya pertolongan. Bisa jadi pula sebenarnya ia telah dijauhi. Namun, ia tidak menyadarinya karena mungin bentuknya hanya berupa pembiaran dirinya dengan keinginannya.

Bersikap tidak sopan bisa terjadi terhadap Allah, guru, manusia, bisa pula terhadap diri sendiri. Di antara contoh bersikap tidak sopan terhadap Allah adalah melanggar perintah-Nya, menaati aturan selain aturan-Nya, mengeluhkan hukum-hukum-Nya yang dianggap memberatkan, dan mengadukan penderitaanya kepada makhluk.

Di antara contoh bersikap tidak sopan terhadap guru adalah membangkang dan tidak mau menerima nasihat dan saran mereka. Sebagian orang berkata, ” Membangkang kepada guru tidak ada tobatnya.”
Bahkan, ada yang mengatakan.”Siapa yang berkata ’mengapa’ kepada kepada gurunya maka ia tidak akan pernah beruntung.”
Al-Qusyairi berkata,”Siapa yang menemani seorang guru, namun kemudian membangkang dalam hatinya, berarti ia telah melanggar akad pertemanan itu dan harus segera bertobat.”
Jika seorang salik mendapati dirinya belum juga sampai ke tujuannya, hendaknya ia sadar bahwa hal itu mungkin disebabkan pembangkangannya secara diam-diam terhadap guru-gurunya. Karena guru ibarat duta bagi para murid di hadapan Tuhan.

Contoh bersikap tidak sopan kepada manusia adalah yang pernah terjadi pada Junaidi saat ia melihat seorang miskin yang meminta-minta kepadanya. Ketika itu, ia membatin,”Sekiranya ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya, tentu akan lebih baik.” Akibatnya, wiridnya pada malam itu terasa berat baginya. Ia bermimpi melihat sekelompok orang yang mendatanginya membawa orang miskin itu di atas meja hidangan. Mereka berseru kepadanya,”Makanlah dagingnya karena kau telah menggibahinya”
Akhirnya, Junaidi mencari orang miskin itu. Saat menemukannya, ia pun lantas mengucapkan salam kepadanya. Kemudian, orang miskin itu berkata,”Pulanglah kembali, wahai Abu Qasim”

Di antara contoh bersikap tidak sopan terhadap diri sendiri adalah mengedepankan pemenuhan ”syahwat yang dihalalkan” daripada pemenuhan kewajiban yang sudah ditetapkan Allah.
Orang yang bersikap tidak sopan bisa saja tidak segera dihukum. Misalnya, tidak langsung diberi penyakit atau petaka, baik yang menimpa tubuhnya maupun batinnya. Namun, Allah akan menghentikan bantuan kepadanya dan menjauhinya. Itulah awal mula terhijabnya dari Allah.



Saat seorang murid tidak lagi mendapat pertolongan dan rahmat Allah, ia akan jatuh di hadapan Allah dan terjuntailah tirai hijab di hatinya. Kerinduannya kepada Allah akan berganti menjadi keterasingan. Demikian pula saat seorang murid dijauhi-Nya, akan terurailah hijab yang menutupi dan menghalangi hatinya untuk masuk ke hadirat-Nya.

Friday, October 16, 2015

Ada orang-orang yang Allah tetapkan untuk melayani-Nya. Adapula orang-orang yang Allah pilih untuk mencintai-Nya

Ada orang-orang yang Allah tetapkan untuk melayani-Nya. Adapula orang-orang yang Allah pilih untuk mencintai-Nya. “Kepada tiap-tiap golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dan kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidaklah terbatas.” (QS. Al-Isra’:20)

Yang dimaksud dengan “orang-orang yang melayani-Nya’ adalah orang-orang yang menaati Allah secara lahir. Mereka adalah para zahid dan ‘abid yang layak menempati surge-Nya. Sementara itu, yang dimaksud dengan “orang-orang yang mencintai-Nya” adalah para muhibbin dan ‘arif yang didekati-Nya dan masuk ke hadirat-Nya. Kedua kelompok ini sama-sama ingin melayani dan mendekatkan diri kepada Allah. Bedanya, kelompok pertama lebih banyak dengan anggota tubuh, sedangkan kelompok kedua lebih banyak dengan hati.

Pengelompokan ini merupakan kehendak Allah. Oleh karena itu, terlarang bagi hamba yang memahami hal ini untuk meremehkan atau memandang rendah salah satu kelompok tersebut.


Abu yazid berkata,”Allah melongok ke dalam hati para wali-Nya. Di antara mereka, ada yang belum layak mengemban makrifat maka Allah akan menyibukkan mereka dengan ibadah.”

Berhati-hatilah bila kebaikan Allah selalu kau dapatkan bersamaan dengan maksiat yang terus kau lakukan.

Berhati-hatilah bila kebaikan Allah selalu kau dapatkan bersamaan dengan maksiat yang terus kau lakukan. Berhati-hatilah, bisa jadi itu adalah awal kehancuranmu yang berangsur-angsur Allah swt. berfirman, “Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan) dengan tidak mereka ketahui.” (QS al-A’raf :182)

Kita sering melihat banyak manusia yang tidak bersyukur atas nikmat Allah, namun nikmat itu tidak hilang dari mereka. Bisa jadi, hal itu merupakan proses penarikan nikmat yang dilakukan secara berangsur-angsur oleh Allah. Karena prosesnya yang berangsur-angsur itu, mereka pun tidak menyadarinya. Namun, berikutnya Allah akan merampas seluruh nikmat itu dari mereka secara tiba-tiba.

Ada yang mengatakan, maksud ayat itu ialah Allah akan terus memberi mereka nikmat dan membuat mereka lupa bersyukur. Jika mereka sudah bergelimang kenikmatan dan terhalang dari Pemberi nikmat, seluruh kenikmatan itu akan direnggut dari mereka secara tiba-tiba.


Ada yang berpendapat bahwa setiap kali mereka membuat kesalahan baru maka Allah akan menambah nikmat untuk mereka dan membuat lupa memohon ampunan atas kesalahan itu.

Thursday, October 15, 2015

Siapa yang tidak mensyukuri nikmat, akan kehilangan nikmat itu. Siapa yang mensyukurinya, berarti ia telah mengikat nikmat itu dengan tali yang kuat.

Syukur nikmat akan membuat nikmat itu abadi dan semakin bertambah, Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim :7)

Sementara itu, kufur nikmat akan menyebabkan nikmat itu hilang, Allah swt. berfirman. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Rad : 11)
Artinya, jika mereka mengubah ketaatan mereka, yaitu dengan tidak mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya, Allah tidak akan memberi mereka kebaikan dan kemurahan-Nya.

Syukur nikmat bisa diwujudkan dengan hati, yaitu kau sadar bahwa semua nikmat berasal dari Allah  swt. berfirman, “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu maka dari Allah lah (datangnya).” (QS. An-Nahl :53)

Bisa pula diwujudkan dengan lisan, yaitu dengan membicarakan nikmat tersebut.  Allah swt. berfirman, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kau siarkan (bicarakan).” (QS adh-Dhuha :11)


Bisa juga dilakukan dengan anggota tubuh, misalnya dengan menggunakan di jalan ketaatan kepada Allah dan menjauhkannya dari hal yang tidak diridhai-Nya.

Siapa yang tidak mendekat kepada Allah, padahal sudah dihadiahi berbagai kenikmatan, akan diseret (agar mendekat) kepada-Nya dengan rantai cobaan.

Orang yang tidak mendekat kepada Allah meski telah diberi berbagai kenikmatan akan dipaksa mendekat kepada Allah melalui berbagai musibah. Artinya, kedekatan seorang hamba kepada Allah terjadi melalui dua proses.

Pertama, dengan diturunkannya nikmat kepadanya sehingga dia bersyukur kepada Allah atas nikmat tersebut dan bersiap melayani-Nya. Kedua, dengan diturunkannya musibah yang menimpa tubuh atau hartanya sehingga dia akan berlindung kepada Allah dan meminta-Nya agar mengangkat musibah itu. Mungkin, itu akan menjadi sebab dia meninggalkan keduniaan dan hanya mau bergantung kepada Allah.

Allah menghendaki para hamba-Nya kembali kepada-Nya, baik secara sukarela maupun terpaksa.



Kecewa terhadap Sesuatu adalah Kemerdekaan dari Perbudakannya.

Kau merdeka dari segala yang tidak kau inginkan dan kau budak dari segala yang kau inginkan.

Ini adalah dalil yang menunjukan betapa buruknya ketamakan dan terpujinya keengganan terhadap para makhluk dan sikap qana’ah terhadap rezeki yang sudah dibagi.

Ketamakan pada sesuatu sama saja dengan penghambaan terhadap sesuatu itu. Sementara itu, keengganan terhadap sesuatu adalah bentuk kebebasan dari sesuatu itu. Keengganan itu membuktikan ketidaktertarikan dan ketidakbutuhan hati terhadap sesuatu itu. Orang yang tamak akan menjadi budak, sedangkan orang yang enggan (terhadap sesuatu) akan menjadi orang yang merdeka.

Oleh sebab itu, dikatakan, “Seorang budak akan merdeka selama ia puas. Seorang yang merdeka akan menjadi budak selama ia tamak.”


Sifat qana’ah adalah sikap tenang saat hilangnya sesuatu yang biasa ada. Ini adalah awal langkah zuhud.

Wednesday, October 14, 2015

Tak ada yang dapat mengendalikanmu sehebat angan-angan.

Angan-angan adalah seseuatu yang teramat buruk. Selain karena merupakan penyebab ketamakan manusia, juga karena angan-angan sebenarnya adalah perkara yang tidak ada. Ia hanyalah khayalan dan perkiraan. Namun anehnya, jiwa selalu lebih tuntuk kepadanya daripada kepada akal.

Tidakkah kau melihat bahwa tabiat manusia selalu merasa takut kepada ular karena ia menyangka bahwa ular itu berbahaya. Bahkan, ia takut bila melihat seutas tali yang melingkar sebab ia mirip dengan ular.  Sekiranya tabiat tunduk kepada akal, tentu ia tidak akan merasa takut karena segala hal yang ditakdirkan pasti akan terjadi dan yang tidak di takdirkan pasti tidak akan terjadi.


Oleh sebab itu, tak seorang pun yang selamat dari ketamakan terhadap makhluk dan apa yang di tangan mereka, kecuali para ahli wara’ dari kalangan khawwash. Mereka adalah orang-orang yang selalu qana’ah dan tawakal. Dihati mereka tiada lagi hubungan antar makhluk. Mereka tidak lagi memedulikan rezeki.

Salah Satu Penyebab Utama Kehinaan Diri adalah Ketamakan

Tidaklah tumbuh dahan-dahan kehinaan, kecuali dari benih ketamakan.

Ibnu Atha’illah mengumpamakan kehinaan dengan sebuah pohon. Dahan-dahannya adalah perumpamaan bagi berbagai jenis kehinaan. Ia juga mengumpamakan ketamakan dengan sebuah benih. Seakan Ibnu Atha’illah berkata,”Jangan kau tanam benih ketamakan di hatimu sehingga akan tumbuh pohon kehinaan yang dahan dan rantingnya akan bercabang-cabang.”

Ketamakan merupakan sikap tercela yang dapat merusak ‘Ubudiyyah. Bahkan, ia adalah pangkal segala kesalahan. Ketamakan menandakan ketergantungan dan penghambaan manusia terhadap manusia. Di sinilah letak kehinaan dan kenistaan sikap ketamakan. Sebabnya adalah keraguan terhadap sesuatu yang telah ditakdirkan Allah.

Oleh karena itu, ia kemudian berkata,”Jika ketamakan di tanya,’siapa bapakmu?’ niscaya ia akan menjawab,’keraguan terhadap takdir.’ Jika di tanya. ‘Apa pekerjaanmu?’ ia menjawab, ‘Mencari kehinaan.’ Jika ia ditanya, ‘Apa tujuanmu?’ ia menjawab,’Memiskinkan seseorang.’”
Ketamakan juga dapat merusak agama. Ketika Ali bin Abi Thalib mendapati para penutur kisah tengah bercerita banyak hal di Masjid Agung Bashrah, ia menyuruh mereka berdiri. Kemudian, ia mendatangi hasan al-basri dan berkata,”Hai anak muda, aku akan menanyakan kepadamu satu hal. Jika kau mampu menjawabnya dengan tepat, kubiarkan kau di sini. Namun, jikau salah, aku akan berdirikan kau seperti teman-temanmu itu.”

Ali memandang Hasan al-Basri. Dilihatnya pada diri pemuda tersebut tanda petunjuk dan kecerdasan.
Hasan al-Basri pun menjawab,”Tanyalah semaumu”
“Apa gerangan yang menjadi pengengdali Agama?” tanya Ali kepadanya.
Hasan menjawab,”sifat wara’ ”
Ali bertanya lagi,”Apa yang menjadi perusak agama?”
Hasan menjawab,”Sifat tamak.”


Kemudian, ali berkata.”Duduklah, orang sepertimu layak berbicara di hadapan manusia. Wara’ (menjauhi) ketamakan adalah wara’ – nya orang-orang khusus (khawwash). Sikap ini menunjukan kokohnya keyakinan, sempurnanya tawakal dan tenangnya hati terhadap Allah. Berbeda dengan wara’-nya orang-orang biasa (awam) yang baru sebatas meninggalkan perkara-perkara syubhat.”

Monday, October 12, 2015

Allah membuat orang-orang yang tengah menuju kepada-Nya (sa’irun) dan orang-orang yang telah sampai kepada-Nya (washilun) tidak mampu melihat amal dan keadaan (ahwal) mereka

Allah membuat orang-orang yang tengah menuju kepada-Nya (sa’irun) dan orang-orang yang telah sampai kepada-Nya (washilun) tidak mampu melihat amal dan keadaan (ahwal) mereka. Karena para sa’irun belum benar-benar ikhlas dalam amal mereka dan karena para washilun terlalu sibuk melihat Tuhan mereka.

Allah menghalangi pandangan para sa’irun dan washilun sehingga mereka tidak bisa melihat atau memerhatikan amal lahir dan ahwal hati mereka. Sekalipun sama-sama di halangi, penyebabnya berbeda.  Pandangan para sa’irun di halangi lantaran Allah melihat hati mereka kurang hadir di hadapan-Nya saat beramal. Sementara itu, pandangan para washilun dihalangi  lantaran mereka sibuk melihat Allah sehingga mereka tidak mampu melain selain dzat-Nya.

Allah telah memberikan karunia-Nya kepada dua kelompok itu. Dia membebaskan keduanya dari ketergantungan terhadap amal dan ahwal mereka. Akan tetapi, Allah memberikan karunia-Nya kepada para salik dengan terpaksa, sedangkan kepada sa’irun dengan sukarela. Tentu saja kedudukan kedua lebih tinggi daripada yang pertama.

Oleh sebab itu, al-Washiti bertanya kepada para sahabat Abu Utsman tentang apa gerangan yang diperintahkan oleh syekh mereka. Mereka menjawab, “ Ia memerintahkan kami untuk senantiasa taat dan melihat atau memerhatikan kekurangan di dalam ketaatan yang kami lakukan itu.”


Kemudian al-Washiti berkata,”Jika demikian, berarti dia telah memerintahkan kalian untuk mengamalkan ajaran-ajaran majusi. Maukah kau kuperintahkan untuk mengabaikan hal itu dan lebih melihat kepada sumber alirannya langsung?” maksudnya adalah agar mereka meninggikan tekad mereka menuju maqam orang-orang ‘arif, bukan merendahkan apa yang mereka alami karena itu juga termasuk kebaikan.

Saturday, October 10, 2015

Janganlah senang lantaran kau bisa melakukan ketaatan, tetapi senanglah lantaran ketaatan itu dikaruniakan Allah kepadamu

Janganlah senang lantaran kau bisa melakukan ketaatan, tetapi senanglah lantaran ketaatan itu dikaruniakan Allah kepadamu. “Katakanlah, berkat karunia dan rahmat Allah lah hendaknya mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS Yunus : 58)

Jangan merasa senang jika kau mampu melakukan sebuah ketaatan. Sikap seperti ini adalah sikap tercela, terlarang dan dapat membatalkan ketaatan. Yang semestinya membuatmu senang bukanlah kemampuanmu melakukan ketaatan, tetapi karena Allah telang menganugrahkan ketaatan itu kepadamu. Inilah sikap yang terpuji dan diharapkan dari seorang hamba. Inilah bentuk kesyukuran seorang hamba atas karunia tersebut.

Ibnu Atha’illah mendasari hikmah itu atas firman Allah, “Katakanlah, “ berkat karunia dan rahmat Allah lah hendaknya mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS Yunus : 58)


Ketaatan yang bisa dilakukan seorang hamba merupakan bentuk perhatian dan kasih sayang Allah kepadanya. Oleh karena itu, ia akan patut berbahagia atas hal itu, bukan atas upayanya menjalankan ketaatan itu.

Cahaya bisa menyingkap, mata hati dapat mengetahui, sedangkan hati bisa menerima dan menolak.

Cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam hati seorang murid bisa menyibak berbagai makna dan hal gaib, seperti baiknya ketaatan dan buruknya maksiat. Mata hati bisa melihatnya. Dalam melihat makna dan hal gaib ini, mata hati membutuhkan cahaya, seperti halnya mata biasa yang membutuhkan bantuan cahya lentera atau matahari ketika akan melihat sesuatu. Cahaya yang dibutuhkan mata hati itu adalah cahaya batin.

Selanjutnya, yang dilihat oleh mata hati itu akan diterima atau ditolak oleh hati. Jika mata hati melihat baiknya ketaatan, hati akan menerima dan mencintainya, lalu diikuti oleh seluruh anggota tubuh. Bila mata hati melihat buruknya maksiat, hati akan menolak dan menjauhinya, kemudian diikuti oleh anggota tubuh yang lain.

Hikmah ini juga bisa diartikan bahwa cahaya bisa menyingkap misteri gaib, seperti rahasia takdir, atau memprekdisikan apa yang akan terjadi di dunia. Setelah itu, mata hati berperan melihatnya dan hati memastikannya. Terkadang penyingkapan dan penglihatan tersebut tidak sempurna.


Oleh karena itu, seorang mukasyif (yang mampu menyingkap misteri gaib) harus memastikan terlebih dahulu apa yang disingkapkan dihadapannya itu. Ia tidak boleh beramal hanya berdasarkan apa yang disingkapkan untuknya. Ia juga tidak boleh memprediksiakan sesuatu sebelum bertanya kepada hatinya, apakah hatinya itu menerima atau menolaknya. Itulah sebab prediksi sebagian wali ada yang tidak terjadi. Ya, karena ia tidak memastikan terlebih dahulu apa yang disingkapkan dihadapannya itu.

Friday, October 9, 2015

Cahaya adalah tentara hati, dan Kegelapan adalah tentara nafsu

Cahaya adala tentara kalbu dan kegelapan adalah prajurit nafsu. Jika Allah ingin menolong hamba-Nya, Allah akan membantunya dengan bala tentara cahaya dan memutus bantuan prajurit kegelapan dan keduniaan.

Dengan iringan tentara kalbu (cahaya), hati bisa sampai ke hadirat Allah dengan mudah dan selamat, sebagaimana seorang raja yang diiringi bala tentaranya menuju tujuannya, yaitu mengalahkan musuh. Inilah pengertian yang dapat kita petik dari hikmah diatas.

“Kegelapan” yang merupakan tabiat seorang hamba, dianggap sebagai bala bantuan dan prajurit hawa nafsu yang mengiringi seorang hamba sampai kepada tujuan, yaitu meraih keduniaan.

Perang antara hati dan nafsu akan terus berlangsung sepanjang waktu. Jika Allah ingin membantu hamba-Nya mengalahkan nafsunya, Dia akan mengirim bala bantuan-Nya, ia akan menyadari keburukan syahwat yang menghambatnya untuk sampai kepada Allah. Selain itu, Allah juga akan membinasakan prajurit kegelapan dan tipuan dunia yang akan membantu nafsu.


Sebaliknya, jika Allah ingin menghinakan seorang hamba, Dia akan memberinya prajurit kegelapan. Hati yang cenderung kepada amal saleh (misalnya, ingin berpuasa) dan nafsu yang cenderung kepada syahwat (ingin berbuka) akan bertempur dan saling membunuh. Saat itu, cahaya dan rahmat Allah akan segera membantu hati, sedangkan kegelapan akan menolong nafsu. Saat kedua barisan pasukan itu bertemu dan pertempuran semakin sengit, tak ada jalan lain bagi seorang hamba kecuali ia harus takut kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya. Seperti itulah yang terjadi dalam setiap amal saleh yang dikerjakannya hingga ia berhasil sampai ke hadirat Allah. Saat itu, kekuasaan nafsu akan terputus dan kalah.

Cahaya adalah kendaraan hati dan rahasia jiwa.

Yang dimaksud “Cahaya” disini ialah cahaya ilahi yang masuk kedalam hati murid. Biasanya, cahaya ini didapat dengan zikir dan riyadhah. “Kendaraan hati” dapat membawa hati menuju Allah hingga sampai ke hadirat-Nya dan mendekati-Nya. Adapun “rahasia jiwa” menurut kaum sufi ialah kedalaman hati, bukan mata hati.


Thursday, October 8, 2015

Allah memberimu ilham untuk mengeluarkanmu dari penjara wujudmu dan membawamu ke angkasa penyaksianmu.

Makna “penjara wujud” ialah kungkungan sifat-sifatmu yang menghambatmu menyaksikan Tuhanmu, ibarat penjara yang membatasi gerak para narapidana.

Maksud “ angkasa penyaksian” adalah kesempatanmu menyaksikan Tuhanmu. Ia diumpamakan ruang angkasa yang tiada batas dan tanpa ada yang menghalangi pandangan mata.

Seorang berkata,” Penjaramu adalah dirimu sendiri. Jika kau keluar dari sana, kau akan mengalami kebahagiaan yang abadi.”

Hikmah ini menegaskan bahwa pemilik ilham itu hanya satu. Demikian pula buahnya, yaitu datang kehadirat-Nya. Hikmah ini juga bisa diartikan bahwa Allah selalu melimpahkan untukmu ilham agar kau sampai kepada-Nya. Dengan ilham yang datang kepadamu, kau pun sibuk melakukan bermacam ketaatan dan mujahadah. Namun, di saat sifat-sifat burukmu masih bercokol di hatimu, yang menyebabkan kau tidak ikhlas dalam beribadah. Dia akan mengirimkan ilham lain yang akan menyelamatkanmu dari hal itu dan membuatmu ikhlas.

Ketikau kau ikhlas, mungkin kau akan mengandalkan keikhlasanmu itu sebagai jaminan diterimanya amalmu dan sampainya dirimu dihadapan Tuhan dengan keikhlasanmu itu. Tentu, tindakan ini adalah salah. Oleh karena itu, ilham berikutnya akan datang. Dengan ilham itu, kau tidak lagi melihat dirimu sendiri dan hanya melihat Tuhanmu dengan mata batinmu.


Allah memberimu ilham untuk menyelamatkanmu dari cengkraman materi dan membebaskanmu dari perbudakan hawa nafsu.

Materi dan hawa nafsu akan merampas kebebasanmu bila kau begitu mencintai dan bergantung kepadanya. Oleh karena itu, Allah memberimu ilham yang dapat menyelamatkanmu dari cengkraman materi dan membebaskanmu dari perbudakan hawa nafsu. Dengan begitu, tak akan ada lagi kesempatan bagi makhluk untuk menguasaimu sehingga kau hanya pasrah kepada Allah dan layak untuk hadir kehadapan-Nya.

Wednesday, October 7, 2015

Datangnya ilham dari Allah kepadamu tak lain agar kau mendatangi-Nya.

Yang dimaksud “ilham” adalah ilmu dan cahaya pengetahuan yang datang dari Allah, cahaya yang membuat hati lapang dan bersinar terang. Dengannya, hati bisa melihat kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan sebagai kebatilan. Ilham ini juga merupakan penampakan Ilahi yang masuk ke dalam hati meski seorang hamba tidak merasakannya karena keburukan sifat-sifat kemanusiaanya. Terkadang, ilham disebut juga dengan hal (keadaan batin). Semuanya datang kepadamu agar kau bisa menuju ke hadirat Ilahi. Namun, untuk sampai ke hadirat Allah, hati harus bersi dan suci dari segala kotoran.

Tuesday, October 6, 2015

Amal yang Paling Diterima

Tiada amal yang lebih berpeluang diterima daripada amal yang tidak kau sadari dan tidak berarti di matamu.

“Amal yang tidak kau sadari” adalah amalmu yang kau yakini dibimbing dan dilakukan oleh Allah. Tanpa Allah, niscaya amal itu tidak akan kau lakukan.


“Amal yang tidak berarti di matamu” ialah amal yang tidak kau jadikan sandaran untuk meraih sebuah keinginan, seperti keinginan untuk bisa sampai kepada Allah dan dekat dengan-Nya atau keinginan mendapatkan derajat dan kedudukan tinggi. Bahkan, kau masih memandang amal itu kurang sempurna dan tidak terbebas dari cacat yang membuatnya sulit diterima Allah.

Tidak ada dosa kecil jika kau dihadapkan pada keadilan-Nya dan tidak ada dosa besar jika kau di hadapkan pada karunia-Nya.

Ketika keadilan Allah berbicara, semua dosa adalah besar. Keadilan Allah adalah kuasa-Nya untuk melakukan apa saja, tanpa ada yang bisa menahan dan melarang-Nya. Jika sifat adil Allah muncul di hadapan orang yang dibenci-Nya, kebaikan-kebaikan orang itu akan diabaikan dan dosa-dosa kecilnya akan dipandang besar.

Adapun karunia Allah adalah pemberian-Nya tanpa berharap balasan dan ganti. Jika karunia itu diberikan kepadamu, dosamu akan menjadi kecil. Jika sifat murah hati-Nya muncul dihadapan orang yang dicintai-Nya, semua kesalahan dan keburukannya akan diabaikan, sedangkan dosa besarnya akan dipandang kecil.


Oleh sebab itu, asy-Syadzili kerap berdoa,” Ya Allah, jadikan keburukan kami keburukan orang-orang yang Kau cintai dan jangan jadikan kebaikan kami kebaikan orang yang Kau benci”

Jangan sampai dosa yang kau anggap besar menghalangimu berbaik sangka kepada-Nya. Siapa yang mengenal Tuhannya akan menganggap dosanya kecil jika dibandingkan dengan kemurahan-Nya.

Jangan kau anggap dosa yang kau lakukan itu besar dan tidak mungkin diampuni sehingga putus asa dari rahmat Tuhanmu. Anggapan semacam itu termasuk sikap tercela dan dapat merusak keimanan. Sikap itu bahkan lebih buruk daripada dosa yang kau lakukan.

Hal itu mencerminkan ketidaktahuanmu tentang Tuhanmu dan memperlihatkan bahwa kau mengandalkan diri sendiri dihadapan Tuhanmu. Siapa yang mengenal Tuhannya dengan baik tentu akan mengetahui dosa apa saja yang tidak ada ampunan dan maafnya.

Lain halnya jika anggapan itu mendorong pelakunya untuk bertobat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Ini adalah anggapan yang terpuji dan merupakan tanda keimanan seorang hamba.

Bin Mas’ud berkata, “ Seorang mukmin melihat dosa seperti melihat gunung yang besar. Ia takut dosa itu runtuh menimpanya. Sementara itu, seorang pendosa melihat dosa seperti melihat seekor lalat yang hinggap di hidungnya. Ketika ia menepisnya, lalat itu pun terbang dan hinggap kembali.”

Ada yang berkata ,” Semakin ketaatan seseorang dianggap kecil ia semakin besar di sisi Allah. Semakin maksiat dianggap besar maka ia akan semakin kecil di sisi-Nya.”


Sunday, October 4, 2015

Tanda-tanda Matinya Hati

Diantara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan sedih atas ketaatan yang kau lewatkan dan tidak adanya perasaan menyesal atas kesalahan yang kau lakukan.

Tanda hidupnya hati ialah memancarnya cahaya Ilahi dari hatimu meskipun kau belum mendapatkan cahaya itu karena tebalnya hijabmu.


Kesedihanmu atas ketaatan yang terlewatkan dan penyesalanmu atas kesalahan yang telah kau lakukan, atau kebahagiaanmu atas amal-amal baikmu dan kesedihanmu atas amal-amal burukmu membuktikan bahwa kau termasuk ahli iradah (orang yang dikehendaki dan dicintai Allah). Oleh karena itu, giatlah dalam beramal saleh dan jangan malas.

ZIkir adalah Jalan Terdekat menuju Allah

Janganlah kau meninggalkan zikir (mengingat Allah) hanya karena ketidakhadiran hatimu di hadapan Allah saat berzikir. Kelalaianmu dari zikir kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaianmu di saat berzikir kepada-Nya. Semoga Allah berkenan mengangkatmu dari zikir yang disertai kelalaian menuju zikir yang disertai kesadaran, dari zikir yang di sertai kesadaran menuju zikir yang disertai hadirnya hati, dari zikir yang disertai hadirnya hati menuju zikir yang mengabaikan selain yang diingat (Allah). “Dan yang demikian itu bagi Allah tidaklah sukar.” (QS- Ibrahim :20)

Biasakan selalu berzikir karena zikir adalah jalan terdekat menuju Allah dan tanda wujud kekuasaan-Nya. Siapa yang diberi kesempatan berzikir berarti ia telah diberi sebagian kekuasan-Nya. Oleh karena itu, jangan tinggalkan zikir. Jangan kau tinggalkan zikir lantaran merasa tidak bisa berkonsentrasi saat zikir akibat terlalu disibukan dengan bisikan-bisikan setan dan hal-hal duniawi. Kelalaianmu untuk berzikir kepada-Nya lebih buruk daripada kelalaianmu saat berzikir. Karena meninggalkan zikir sama saja menjauhkan diri dari Allah, baik secara hati maupun lisan. Berbeda halnya dengan lalai saat berzikir, meski hatimu jauh dari-Nya, lisanmu tetap dekat dengan-Nya. Oleh karena itu, kau tetap harus berzikir kepada Allah walaupun lalai saat zikir.

Semoga Allah menuntunmu dari zikir yang disertai kelalaian menuju zikir yang disertai kesadaran dan konsentrasi. Dari zikir yang disertai kesadaran hati menuju zikir yang mengantarkan hati masuk ke hadirat Ilahi, sehingga kau merasa melihat-Nya saat berzikir dan tidak lalai dari-Nya. Dari zikit yang disertai kehadiran hati, menuju zikir yang meniadakan segala hal selain Allah, termasuk zikir itu sendiri, tanpa disadarinya, ia keluar dari zikirnya. Pada saat itulah, Tuhannya akan menjadi lisa yang digunakannya untuk berbicara. Saat bergerak pun, tangan Tuhannya lah yang bergerak. Saat mendengar, Tuhannya yang menjadi pendengerannya.

Mungkin kondisi seperti itu tampak tidak masuk akal, tetapi itu benar-benar terjadi. Kondisi seperti itu hanya bisa diketahui dan dirasakan oleh para salik. Sekalipun demikian, para ulama sepakat untuk mempercayai dan meyakininya. Oleh karena itu, jangan sekali-kali mendustakannya sehingga kau akan binasa bersama orang-orang yang binasa.


Dalam hikmah ini, Ibnu Atha’illah juga melarang murid untuk putus asa dan merasa tidak mungkin sampai pada maqam semacam itu. Maka dari itu ia pun menyitir firman Allah, “ Dan yang demikian itu bagi Allah tidaklah sukar.” (QS Ibrahim :20) karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Seorang murid hanya wajib melaksanakan sebab-sebab, sedangkan hasilnya menjadi urusan Allah.

Saturday, October 3, 2015

Sebaik-baik amal adalah amal yang dihasilkan dari sebaik-baik ahwal (keadaan batin) dan sebaik-baik ahwal adalah yang dihasilkan dari kemapanan maqam-maqam yang diraih

.Amal terbaik adalah amal yang terbebas dari factor-faktor yang membuat sebuah amal tidak diterima, seperti Riya’ dan mengharap keuntungan duniawi. Amal yang lebih baik lagi adalah amal yang dikerjakan dengan hati senantiasa hadir di hadapan Allah dan tidak peduli dengan bisikan-bisikan setan.

Ahwal (keadaan batin) terbaik adalah ahwal yang tergambar dalam bentuk sikap zuhud terhadap dunia dan ikhlas kepada Allah. Misalnya, dengan meniatkan amal untuk ‘ubudiyyah kepada Nya semata, bukan untuk mencari pahala. Ahwal ini didapat dari kemapanan maqam-maqam yang diturunkan ke dalam hati yang bentuknya berupa makrifat ilahiah yang menyebabkan seseorang mengabaikan segala keinginan, baik itu keinginan masuk surge maupun keinginan selamat dari neraka.

Jika seorang murid  berhasil meraih itu, ia akan merasa melihat Tuhannya dengan hatinya. Dengan begitu, dalam amalnya, ia tidak berharap selain Allah. Buahnya, amalnya tidak akan terbebas dari segala faktor yang membuat amal tidak diterima. Hikmah ini merupakan dalil dan penegas hikmas sebelumnya.

Karena sifat-sifat terpuji, biasanya tidak tumbuh kecuali dari banyaknya zikir.

Zuhud adalah Faktor Terbesar dalam Menumbuhkan Amal

Amal sedikit dari hati yang zahid tidak bisa dikatakan sedikit. Amal banyak dari hati yang tamak tidak bisa dikatakan banyak.

Seorang zahid adalah orang yang tidak bergantung pada dunia. Amalnya, walopun secara kasat mata tampak sedikit, secara maknawi amatlah banyak karena terbebas dari cacat dan kekurangan yang membuat amal itu tidak diterima, seperti berniat riya', pura-pura dihadapan manusia, mengharap keuntungan duniawi, atau tanpa kehadiran hati dihadapan Tuhan.

Sementara itu, amal yang bersumber dari hati yang tamak terhadap dunia, walaupun secara kasat mata amal itu terlihat banyak, secara maknawi amal itu dianggap sedikit karena tidak terbebas dari hal-hal yang mengotori dan mengurangi nilainya.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, " Dua rakaat (shalat sunah) dari seorang zahid yang alim lebih baik daripada ibadah para 'abid dan mujtahid sepanjang hidup mereka."

Friday, October 2, 2015

Bisa jadi, perbuatan burukmu tampak baik dimatamu karena persahabatanmu dengan orang yang lebih buruk daripada dirimu.

Artinya, berteman dengan orang yang kualitas kebaikannya berada dibawahmu amat berbahaya karena bisa menyamarkan aib dan kekuranganmu. Akibatnya, kau akan selalu berbaik sangka terhadap dirimu sendiri. Kau bangga dengan amalmu dan merasa puas dengan kondisimu sehingga kau rela hati dan selalu melihat kebaikan-kebaikanmu. Itu adalah pangkal segala keburukan.

Boleh saja kau berteman dengan orang yang keadaanya tidak membuatmu bersemangat dan ucapannya tidak membimbingmu ke jalan Allah asalkan orang itu sederajat denganmu agar pertemananmu dengannya tidak membahayakanmu.

Disini Ibnu Atha’illah ingin menjelaskan bahwa pertemanan dengan orang-orang ’arif  terbagi menjadi dua ; pertemanan yang didasari keinginan dan pertemanan yang mengharap berkah.

Pertemanan yang didasari keinginan ialah pertemanan yang harus memenuhi syarat-syaratnya. Kesimpulannya, keberadaan seorang murid dengan syekh atau gurunya seperti seonggok mayat di tangan para pemandi mayat.


Adapun pertemanan untuk mengharap berkah ialah pertemanan yang tujuannya masuk ke satu kaum dan berpakaian dengan pakaian mereka, serta tunduk pada peraturan mereka. Di sini tidak perlu ada syarat-syarat pertemanan. Yang paling penting adalah bagaimana ia berpegang pada batasan-batasan syara’. Diharapkan dari pertemanannya dengan kaum itu, ia akan mendapatkan berkah mereka dan bisa sampai ke maqam yang telah mereka raih. 

Thursday, October 1, 2015

Persahabatan dan Orang yang Pantas Dijadikan Sahabat.

Jangan kau temani orang yang keadaanya tidak membuatmu bersemangat dan ucapannya tidak membimbingmu ke jalan Allah.


Seorang murid dilarang berteman dengan orang semacam itu sekalipun orang itu adalah ahli ibadah atau ahli zuhud karena dianggap tidak ada gunanya. Sebaliknya, kau disarankan berteman dengan orang yang membuat bersemangat dan ucapannya membimbingmu ke jalan Allah.

Misalnya, orang yang tekadnya tinggi senantiasa bergantung kepada Allah, jauh dari makhluk, atau dalam setiap kebutuhannya tidak bertumpu kecuali kepada Allah dan dalam setiap perkara tidak bertawakal kepada selain-Nya sehingga di matanya seluruh manusia tak berarti apa-apa, tidak bisa mendatangkan bahaya ataupun manfaat. Bahkan, ia menganggap dirinya sendiri rendah dan tak berguna, tidak mampu berbuat sesuatu, dan tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. Dalam setiap amalnya, ia tetap berjalan pada jalur syara’, tanpa melebih-lebihkannya atau menguranginya. Inilah sifat orang-orang ’arif yang mengenal Allah.

Menemani orang-orang seperti itu, walopun  ibadahnya sedikit dan amalan sunahnya tidak banyak, amat dianjurkan bagi seorang murid karena banyak mendatangkan manfaat, baik dari sisi agama maupun dunia sebab manusia selalu mengikuti tabiat manusia lain.


Adapun orang-orang yang tidak memiliki sifat-sifat diatas, kita hanya diperbolehkan bergaul dengan mereka secara lahir, tidak lebih karena tidak ada gunanya bergaul dengan mereka. Jika mereka sederajat denganmu, pergaulanmu dengan meraka tidak akan mendatangkan bahaya apa-apa bagimu. 

Siapa yang hijarhnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya

Dengarlah sabda Rasullullah,”Siapa yang hijarhnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraihnya atau kepada perempuan yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada yang ditujunya.” Pahamilah sabda Rasullullah ini dan perhatikan jika kau memiliki kecerdasan dan pemahaman.


Hadits ini menegaskan makna hikmah sebelumnya. Hadis ini patut diperhatikan dan dicamkan baik-baik, terutama pada bagian akhir, yaitu bahwa hijrah seseorang akan berakhir ditempat yang menjadi tujuan hijrahnya. Maknanya, orang yang hijrahnya kepada dunia saja tidak akan meraih pencapaian dan kedekatan yang diraih oleh orang-orang yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya. Seakan Rasulullah memperingatkan kita tentang pengaruh buruk dunia dan perempuan terhadap jiwa bila kita terlalu terobsesi pada dunia dan perempuan.

Sabda beliau ” maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya” bermakna pergi dari alam menuju Pencipta alam. Inilah yang dituntut dari seorang hamba. Adapun makna ungkapan ”maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya” adalah tetap berada di alam, tidak kemana-mana, dan hanya berputar-putar di tempat.


Kesimpulannya, kita dituntut untuk menguatkan tekad, menjauhkan keinginan dari makhluk dan menggantungkan diri kepada Yang Maha  Haq. Tentu, faktor yang bisa memudahkan kita sampai pada maqam ini ialah pergaulan dengan kaum ’Arif yang mengenal Allah.