Semesta itu
seluruhnya gulita. Ia hanya akan diterangi oleh wujud Allah. Siapa yang melihat
semesta, namun tidak melihat-Nya disana atau tidak melihat-Nya ketika, sebelum,
atau sesudah melihat semesta, berarti ia telah disilaukan oleh cahaya-cahaya
lain dan terhalang dari surya makrifat karena terutup tebalnya awan dunia.
Di mata para ahli
syuhud (orang yang menyaksikan kehadiran Allah dalam segala sesuatu), dunia ini
tidak berwujud. Yang membuat dunia ini nampak hanyalah wujud Allah semata,
persis seperti pancaran sinar matahari yang masuk kedalam sebuah lentera
berkaca. Tak ada wujud, kecuali wujud Yang Maha Benar. Dengan kemunculan Allah
pada segala sesuatu, semuanya menjadi ada, sesuai tabiatnya masing-masing.
Aslinya, mereka tidak berwujud dengan sendirinya.
Jika demikian,
barang siapa yang melihat alam semesta ini tanpa merasakan kehadiran Allah
disana, berarti ia telah kehilangan nur Ilahi (cahaya Allah) yang membuatnya
mendapat musyahadah. Di samping itu, ia juga tidak mungkin akan mendapat
makrifat karena ia telah disilaukan oleh semesta ini.
Disini Ibnu
Atha’illah menyinggung tentang bermacam-macam tingkatan ahli syuhud dalam
memandang Allah. Di antara mereka ada yang menyaksikan Sang Pencipta terlebih
dahulu sebelum menciptakan ciptaan-Nya. Jika pandangannya jatuh pada suatu
benda, Dia yang menggerakan dan mendiamkannya. Itu terjadi sebelum dibenaknya
terbesit apakah benda itu manusia ataukah domba, tinggi ataukah pendek, dan
sebagainya.
Ada juga yang
menyaksikan Tuhan setelah tahu bahwa benda yang disaksikannya itu adalah
binatang. Ada yang menyaksikan Tuhan tepat di saat ia menyaksikan sebuah benda.
Ada pula yang menyaksikan Tuhan pada benda itu.
Hikmah ini
teramat sulit untuk dijabarkan karena semua pengalaman di atas tidak bisa
diungkapkan melalui ucapan atau tulisan,
namun hanya bisa dirasakan. Orang yang mengalami syuhud akan kehilangan
kata-kata untuk menjelaskannya.
No comments:
Post a Comment