Jika hati atau
tubuh seorang murid sedang berada dalam satu keadaan (ahwal) tertentu, ia harus
tetap menjaga kesopanan di hadapan Allah dengan merelakan diri untuk tetap
berada pada keadaan tersebut sampai Allah sendiri yang memindahkannya dari
sana. Dengan satu catatan, keadaan tersebut tidak bertentangan dengan syariat.
Misalnya, jika ia
sedang berada dalam keadaan terlepas keduniaan (tajrid), ia harus menahan diri
untuk terus berada dan rela dalam keadaan tersebut sampai Allah sendiri yang
memindahkannya ke keadaan lain. Jika terbesit di hatinya keinginan untuk
mencari penghidupan (kasab), itu artinya ia tidak sopan kepada Tuhannya karena
ia sudah menolak keadaan yang dikehendaki-Nya untuknya. Demikian pula, seorang
murid dianggap tidak sopan terhadap Tuhannya, jika ia sedang berada dalam satu
pekerjaan, namun ingin pindah ke pekerjaan lain, atau sedang berada dalam
keadaan miskin, namun ingin menjadi kaya.
Empat puluh tahun
silam, seseorang berkata kepadaku, ”Bila Allah menempatkanku pada suatu kondisi
(ahwal), tidak pernah sedikitpun aku kesal. Bila Dia memindahkanku ke kondisi
lain, tidak pernah sekalipun aku menolaknya.” Ungkapan ini adalah buah dari
ilmu dan pengetahuan (makrifat) tentang Allah dan ketuhanan-Nya.
Jika seorang
membenci keadaan dirinya saat ini, lalu ia bersikukuh ingin pindah ke dari
keadaan itu dan menghendaki keadaan lain yang berbeda dengan apa yang ditampakkan
Allah kepadanya, itu artinya, ia tidak mengenali Tuhannya sama sekali dan sudah
bersikap tidak sopan terhadap-Nya. Tentu ini adalah tindakan menentang ”hukum
waktu” yang diisyaratkan oleh kaum sufi. Bagi kaum sufi, menentang ”hukum
waktu” merupakan dosa paling besar.
No comments:
Post a Comment