Pangkal segala maksiat, kelalaian dan syhawat adalah sikap
puas terhadap keadaan diri sendiri. Pangkal segala ketaatan, kesadaran dan
kesucian adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri.
Maksiat berarti menentang semua perintah dan larangan Allah.
Kelalaian berarti hati tidak waspada dan tidak
sadar tentang kehadiran Allah. Adapun syahwat berarti ketergantungan
terhadap sesuatu yang menyibukan diri dan membuat lupa dari Allah swt.
Menurut orang-orang ‘arif, sebab dari segala maksiat adalah
sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Sikap tersebut akan selalu mendorong
seseorang berusaha menutup-nutupi aib dan kesalahannya sehingga yang buruk akan
dijadikannya baik. Siapa yang puas dengan keadaan dirinya akan menganggap baik
semua kondisi pribadinya dan merasa nyaman dengan semua kondisi itu. Siapa yang
menganggap baik semua kondisi pribadinya akan lalai mengendalikan
bisikan-bisikan syahwatnya. Akibatnya, ia dikuasai oleh syahwat. Siapa yang di
kuasai oleh syahwat, tentu akan mudah terjerumus pada maksiat.
Adapun ketaatan berarti melaksanakan segala perintah dan
larangan Allah. Kesadaran berarti perasaan tentang kehadiran Tuhan dan hal-hal
yang diridahi-Nya. Kesucian berarti ketinggian tekad dan kebersihannya dari
syahwat.
Pangkal dari segala ketaatan dan kesadaran adalah sikap
tidak puas dengan keadaan diri sendiri. Jika seseorang tidak puas dengan
keadaan dirinya sendiri, ia tidak akan menganggap baik semua kondisinya dan
tidak akan tenang dengan semua itu. Barang siapa memiliki sifat seperti ini
maka ia akan selalu sadar dan waspada terhadap segala yang datang dan
menyerang.
Dengan sikap waspada dan sadar ini, ia dapat menyelidiki dan
mendekati secara dini bisikan-bisikan hatinya.
Saat itu, api syahwat-syahwatnya akan padam sehingga tidak bisa
menguasai dirinya. Buahnya, ia akan menjadi suci. Dengan demikian, ia akan
menjauhi semua larangan Allah dan menaati semua perintah-Nya. Itulah makna taat
kepada Allah.
Sikap puas terhadap keadaan diri sendiri adalah sikap
orang-orang yang mempelajari ilmu lahir yang tidak mau mengakui aib diri
sendiri. Oleh karena itu, Ibnu Atha’illah melarang kita untuk berteman dengan
orang-orang semacam itu.
No comments:
Post a Comment