Wednesday, September 30, 2015

Beramal Demi Pahala adalah Berpindah dari Alam ke Alam, dan Perpindahan Terbaik adalah dari Alam ke Pencipta Alam.

Jangan kau pergi dari satu alam ke alam lain sehingga kau menjadi seperti keledai penggilingan yang berputar-putar, tempat yang ia tuju adalah tempat ia beranjak. Namun pergilah dari alam menuju Pencipta Alam. ” Sesungguhnya kepada Tuhanmu puncak segala tujuan.” (QS. An-Najm :42)

Maksudnya adalah beramal disertai dengan sifat riya’ atau sifat-sifat tercela lainnya dan tidak bernilai syar’i. Jika seseorang murid bermujahadah, lalu berhasil menjauhi sifat-sifat tercela, tetapi pada saat yang sama ia mengharapkan pahala dan ketinggian derajat atau maqam, ia masih dianggap tercela di mata para ’arif. Yang terpuji adalah yang meniatkan setiap amalnya hanya karena Allah semata.

Ibnu Atha’illah mengumpamakan kepergian dari satu alam ke alam lain dengan perjalanan keledai penggilingan yang hanya berputar-putar di tempatnya. Demikian pula dengan amal yang tidak ditujukan karena Allah. Orang yang beramala demi mengharap pahala, misalnya, dianggap sebagai orang yang bepergian dari satu alam yakni alam Riya’, menuju alam lain, yakni alam pahala. Semua alam adalah sama. Sama-sama materi.

Yang benar adalah kau haru pergi dari alam menuju Pencipta alam dengan cara mengikhlaskan amalmu hanya untuk-Nya dan tidak berharap balasan, baik langsung maupun tak langsung. Siapa yang beramal untuk mendapatkan kedudukan atau maqam tertentu maka dia akan menjadi budak kedudukan itu. Siapa yang beramal karena Allah semata maka dia akan menjadi hamba Allah. Ini sama dengan kepergiannya dari alam menuju Pencipta Alam.


”Sesungguhnya, Tuhanmu adalah puncak segala tujuan.” Maksudnya, perjalananmu akan berakhir di hadirat-Nya sehingga keinginanmu terwujud. Sebaliknya, orang yang pergi dari satu alam ke alam lain, perjalanannya tidak akan pernah berujung kepada Allah dan ia tidak pernah akan sampai kepada-Nya.

Sungguh aneh, Orang menghindar dari sosok yang tak dihindari, lalu mencari sesuatu yang tidak kekal.

Sungguh aneh, Orang menghindar dari sosok yang tak dihindari, lalu mencari sesuatu yang tidak kekal. ” Sesungguhnya, mata kepala itu tidak buta, tetapi yang buta adalah mata hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al- Hajj :46)

Sungguh mengherankan, orang ingin menghindari Allah dengan tidak melakukan apa yang sudah ditetapkan-Nya untuknya dan lebih suka mencari dunia dan perkara-perkara selain-Nya karena mengikuti hawa nafsu.


Tindakan seperti ini bersumber dari kebutaan mata hati dan kebodohannya tentang Tuhannya karena ia menukar sesuatu yang teramat baik dengan sesuatu yang hina. Ia juga lebih mengutamakan yang fana daripada yang kekal dan tak bisa dihindarinya. Sekiranya ia memiliki mata hati yang tajam, niscaya ia takkan melakukan hal itu.

Tuesday, September 29, 2015

Berbaik sangka Kepada Allah

Jika kau tidak bisa berbaik sangka kepada Allah karena kebaikan sifat-sifat-Nya, berbaik sangkalah kepada-Nya atas kebaikan perlakuan-Nya terhadapmu. Bukankah Dia selalu memberimu yang baik-baik dan mengaruniaimu berbagai kenikmatan ?


Dalam hikmah ini, Ibnu Atha’illah mengisyaratkan bahwa dalam berbaik sangka kepada Allah, manusia terbagi menjadi dua golongan, golongan khusus dan golongan awam.

Golongan khusus berbaik sangka kepada Allah atas sifat-sifat-Nya yang baik. Sementara itu, golongan umum berbaik sangka kepada Allah atas perlakuan-Nya yang baik terhadap diri mereka, berupa karunia dan nikmat yang telah diberikan-Nya kepada mereka.


Ada perbedaan yang mencolok antara dua maqam tersebut. Ibnu Atha’illah sekan berkata,”Wahai murid, kau harus berbaik sangka kepada Allah secara mutlak, baik itu atas manfaat yang telah diberikan-Nya maupun bahaya yang telah dijauhkan-Nya darimu. Kau tidak boleh berpaling kepada selain-Nya. Jika kau tak sanggup berbaik sangka kepada-Nya menurut maqam orang khusus, kau bisa berbaik sangka kepada-Nya menurut maqam orang awam. Sikap berbaik sangkamu kepada Allah atas kebaikan sifat-sifat-Nya akan menumbuhkan cinta dan tawakal yang benar kepada-Nya. Baik sangkamu kepada-Nya atas perlakuan-Nya yang baik terhadapmu akan membuahkan syukur atas nikmat dan rahmat-Nya.

Setiap Perkara yang Menimpa Manusia Ditujukan agar Manusia Bersandar kepada Allah.

Jangan mengadukan musibah kepada selain Allah. Karena Allah semata yang menurunkannya. Bagaimana mungkin selain Allah dapat mengankat musibah yang telah ditetapkan-Nya? Bagaimana mungkin orang yang tidak bisa mengangkat musibah dirinya sendiri bisa mengangkat musibah dari orang lain?

Jika ada musibah yang menimpamu, jangan kau meminta kepada selain Allah untuk menghilangkannya karena yang menurunkan musibah itu adalah Allah. Ingat, Allah Lah Yang Unggul dan tak ada yang bisa mengalahkan-Nya.

Orang yang tak bisa mengangkat musibahnya sendiri mustahil mampu mengangkat musibah yang menimpa orang lain.


Kesimpulannya, siapapun selain Allah, sekalipun itu seorang raja, tidak akan mampu mengangkat musibah orang lain. Selain itu, ia pun tentu lebih mencintai dirinya sendiri daripada orang lain. Demikian pula, jika memang benar ia mampu member manfaat kepada orang lain, tentu ia akan mendatangkan manfaat kepada dirinya sendiri terlebih dahulu. Namun kenyataanya, ia tidak akan mampu mendatangkan itu. Perlu diingat, tak ada kelemahan melebihi kelemahan dalam member manfaat kepada diri sendiri. Oleh karena itu, teramat sempit akalmu, jika dalam hajat dan musibahmu kau bergantung pada orang yang juga butuh pertolongan seperti dirimu.

Sunday, September 27, 2015

Jangan sampai tekadmu tertuju pada selain-Nya karena Tuhan Yang Maha Mulia (Karim) tidak mungkin akan terlampaui oleh harapan dan angan.

Jangan sampai kau menuju kepada selain Allah dalam memenuhi kebutuhanmu. Akan tetapi, ungkapan hajatmu kepada-Nya dan mintalah dari-Nya. Tekad yang tinggi selalu mencari pemenuhan kebutuhannya kepada sosok yang mulia dan tak ada yang benar-benar mulia, kecuali Allah swt. Setiap orang yang mulia, jika sudah menetapkan sesuatu, pasti akan memenuhinya. Jika berjanji, akan menepatinya. Jika memberi, akan menambahkan pemberiannya melibihi harapan. Dia tidak mengurangi dan tidak pernah mengecewakan siapapun yang berlindung kepadanya. Dia akan mencukupinya dengan segala pertolongan. Sifat-sifat ini tidak dimiliki selain oleh Allah swt. karena itu, selayaknya harapan dan asa para pengharap tidak boleh melewatinya dan menuju kepada selain-Nya.


Ketahuilah bahwa meminta kepada makhluk dianggap bertentangan dengan ‘ubudiyyah (penghambaan di hadapan-Nya) bila di dasari oleh rasa bergantung pada makhluk dan lalai untuk meminta kepada Allah. Lain halnya bila permintaan terserbut diiringi dengan keyakinan bahwa makhluk yang dimintainya itu hanyalah wasilah (perantara), tetapi yang sebenarnya member adalah Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung. Ini tidak bertentangan dengan ‘ubudiyyah.

Allah telah ada dan tiada sesuatu pun di samping-Nya, kini Dia masih tetap sebagaimana ada-Nya semula.

Ini adalah kondisi orang yang menduduki maqam kefanaan. Ia tidak lagi melihat selain Tuhannya (musyahid). Dalam pandangannya Tuhan masih tetap sebagaimana ada-Nya semula.

Seorang musyahid meyakini bahwa wujud hakiki hanya milik Allah swt., sedangkan selain-Nya tidak memiliki wujud. Sifat wujud itulah yang melekat pada Allah swt.  sekarang dan sebelum musyahid itu mengetahuinya. Ketidaktahuan musyahid tentang Tuhan sebelum itu tak lain karena adanya hijab.


“Sinar mata hati” membuatmu menyaksikan kedekatan-Nya denganmu.

“Sinar mata hati” membuatmu menyaksikan kedekatan-Nya denganmu. “Penglihatan mata hati” membuatmu menyaksikan ketiadaanmu karena keberadaan-Nya. “Hakikat mata hati” membuatmu menyaksikan keberadaan-Nya, bukan ketiadaanmu dan bukan pula keberadaanmu.

Sinar mata hati sering disebut dengan cahaya akal dan ‘ilmul yaqin. Penglihatan mata hati sering disebut cahaya ilmu dan ‘ainul yaqin. Hakikat mata hati sering disebut dengan cahaya kebenaran dan haqqul yaqin.

Cahaya-cahaya Ilahi tersebut akan menyinari hati seorang salik. Setiap cahaya tersebut memiliki buah dan manfaatnya sendiri-sendiri.
Seseorang berkata, “Seorang hamba tidak akan sampai pada hakikat tawadhu, kecuali saat terpancarnya cahaya musyahadah dari hatinya.” Saat itu, nafsunya akan larut dan tunduk pada sang Khalik dan bersikap rendah hati di hadapan makhluk.

Melalui hikmah ini, Ibnu Atha’illah menjelaskan bahwa orang yang terbuka dengan cahaya pertama akan merasa kedekatan Allah. Ia kan akan selalu sadar pengawasan Allah dan malu kepada-Nya. Ia merasa bahwa pandangan Allah tidak pernah luput darinya, baik itu di saat melaksanakan perintah-Nya maupun disaat menjauhi larangan-Nya.

Orang yang terbuka dengan cahaya kedua akan merasa ketiadaan segala yang wujud karena wujud Tuhan Yang Maha Haq. Ia akan melihat bahwa alam semesta ini tidak ada dan tidak memperdulikannya lagi karena wujud alam semesta ini hanyalah akibat dari wujud Yang Maha Maujud. Wujud hakiki hanyalah milik Allah swt. Dalam pandangannya, tak ada lagi yang di jadikan sandaran atau tempat berkeluh kesah., kecuali Allah. Ia hanya akan bertawakal kepada-Nya, ridha dan memasrahkan diri kepada-Nya.

Sementara itu, orang yang terbuka dengan cahaya ketiga akan memliki dzat dan jiwa yang suci. Ia akan merasa kefanaan secara total. Kefanaan yang abadi karena itulah dengan wujud Tuhannya. Rahasia-rahasia Ilahi pun terkuak di hadapannya. Jika ia naik dan kefanaan total itu, ia akan menempati maqam keabadian.


Penulis al-‘Awarif berkata, “Orang yang abadi di suatu maqam tidak akan di halangi Allah dari makhluk dan tidak dihalangi makhluk dari Allah, sedangkan orang yang fana akan terhalangi oleh Yang Maha Haq dari makhluk.”

Thursday, September 24, 2015

Berteman dengan orang bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik bagimu daripada berteman dengan orang yang berilmu yang puas dengan keadaan dirinya.

Berteman dengan orang bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik bagimu daripada berteman dengan orang yang berilmu yang puas dengan keadaan dirinya. Dimana letak berilmunya orang yang berilmu yang puas dengan dirinya itu? Dimana pula letak bodohnya orang yang bodoh yang tidak puas terhadap dirinya itu ?


Orang bodoh ialah orang yang tidak memilikiilmu lahir. Tidak puas dengan keadaan diri sendiri, misalnya dengan menganggap dirinya hina atau menyadari kekurangannya.

Tidaklah baik berteman dengan seorang yang puas dengan keadaan dirinya sendiri walaupun ia seorang yang alim (orang yang berilmu). Bagaimanapun, pertemanan dapat mendatangkan pengaruh yang besar padamu. Ketika kau berteman dengan alim yang sudah berpuas diri, kau bisa mendapat sifar buruknya sehingga ilmunya tidak berguna bagimu dalam melembutkan jiwamu. Kebodohan yang membuat orang alim puas diri itulah yang berbahaya bagimu. Seakan ia bukan yang berilmu karena rela dengan aib yang dimiki dirinya.


Sebaliknya, berteman dengan orang yang bodoh yang tidak puas dengan keadaan dirinya lebih baik dan lebih bermanfaat bagimu. Biasanya, tabiat seseorang didapat dari tabiat orang lain, nafsu selalu terdorong untuk mengikuti orang yang dianggap lebih baik kondisinya. Oleh karena itu, kebodohan orang yang bodoh tidak akan berbahaya bagimu. Namun, ilmunya yang membuat tidak puas terhadap keadaan dirinya justru ama berguna bagimu. Seakan ia bukan orang yang bodoh karena mengetahui kekurangan dirinya sendiri sampai tidak merasa puas terhadap dirinya. Dengan demikian, orang bodoh yang tahu kekurangan dirinya bisa disebut orang yang memiliki ilmu. Oleh karena itu, bergaul dengan orang bodoh seperti ini akan bermanfaat dan lebih baik bagimu.

Wednesday, September 23, 2015

Pangkal Setiap Kelalaian dan Maksiat adalah Merasa Puas Diri

Pangkal segala maksiat, kelalaian dan syhawat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Pangkal segala ketaatan, kesadaran dan kesucian adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri.

Maksiat berarti menentang semua perintah dan larangan Allah. Kelalaian berarti hati tidak waspada dan tidak  sadar tentang kehadiran Allah. Adapun syahwat berarti ketergantungan terhadap sesuatu yang menyibukan diri dan membuat lupa dari Allah swt.

Menurut orang-orang ‘arif, sebab dari segala maksiat adalah sikap puas terhadap keadaan diri sendiri. Sikap tersebut akan selalu mendorong seseorang berusaha menutup-nutupi aib dan kesalahannya sehingga yang buruk akan dijadikannya baik. Siapa yang puas dengan keadaan dirinya akan menganggap baik semua kondisi pribadinya dan merasa nyaman dengan semua kondisi itu. Siapa yang menganggap baik semua kondisi pribadinya akan lalai mengendalikan bisikan-bisikan syahwatnya. Akibatnya, ia dikuasai oleh syahwat. Siapa yang di kuasai oleh syahwat, tentu akan mudah terjerumus pada maksiat.

Adapun ketaatan berarti melaksanakan segala perintah dan larangan Allah. Kesadaran berarti perasaan tentang kehadiran Tuhan dan hal-hal yang diridahi-Nya. Kesucian berarti ketinggian tekad dan kebersihannya dari syahwat.

Pangkal dari segala ketaatan dan kesadaran adalah sikap tidak puas dengan keadaan diri sendiri. Jika seseorang tidak puas dengan keadaan dirinya sendiri, ia tidak akan menganggap baik semua kondisinya dan tidak akan tenang dengan semua itu. Barang siapa memiliki sifat seperti ini maka ia akan selalu sadar dan waspada terhadap segala yang datang dan menyerang.

Dengan sikap waspada dan sadar ini, ia dapat menyelidiki dan mendekati secara dini bisikan-bisikan hatinya.  Saat itu, api syahwat-syahwatnya akan padam sehingga tidak bisa menguasai dirinya. Buahnya, ia akan menjadi suci. Dengan demikian, ia akan menjauhi semua larangan Allah dan menaati semua perintah-Nya. Itulah makna taat kepada Allah.


Sikap puas terhadap keadaan diri sendiri adalah sikap orang-orang yang mempelajari ilmu lahir yang tidak mau mengakui aib diri sendiri. Oleh karena itu, Ibnu Atha’illah melarang kita untuk berteman dengan orang-orang semacam itu.

Tuesday, September 22, 2015

Keluarkanlah sifat-sifat kemanusiaanmu yang bertentangan dengan kehambaanmu, agar kau mudah menyambut panggilan yang Haq (Allah) dan dekat dengan-Nya.

Keluarkan lah dari dirimu sifat-sifat kemanusiaan yang tercela dengan riyadhah dan mujahadah, baik itu yang lahir (seperti suka melakukan gibah, mengadu domba, membunuh dan merampas) maupun yang batin (seperti sombong, ujub, riya, sum’ah (ingin terkenal), dengki, gila kehormatan, gila harta dan sebagainya).

Jauhkan dirimu dari sifat-sifat yang bertentangan dengan predikat kehambaanmu agar kau mudah menjawab seruan Yang Haq. Ketika kau berhasil mengeluarkan sifat-sifat tercelamu dan menyaksikan sifat-sifat baikmu (seperti tawadhu’ karena Allah, khusyuk di hadapan-Nya, takut kepada-Nya dan ikhlas menyembah-Nya), maka disaat datang seruan kepadamu,”Wahai hambaku!” kau pun akan dengan mudahnya menjawab,”Labbaik, Tuhanku” Kau pun akan tulus  dan ikhlas dalam menjawab seruan itu karena sifat-sifat yang bertentangan dengan kehambaanmu itu telah hilang darimu. Kau pun akan dekat dengan-Nya sehingga Dia akan menjagamu dari dosa (mahfuzh) dan memudahkan segala amalmu yang kelak akan kau nikmati hasilnya.

Ada perbedaan makna antara mahfuzh (terjaga dari dosa) dengan lafal ma’shum (terlindung dari dosa). Bedanya adalah ma’shum sama sekali tidak pernah menyentuh dosa, sedangkan mahfuzh terkadang melakukan kesalahan dan kekeliruan, tetapi tidak selamanya demikian. Saat keliru, seorang yang mahfuzh akan langsung bertobat.


Ketahuilah, di mata ahli tarekat, menjauhi sifat buruk dan memiliki sifat mulia merupakan hakekat dan tujuan dari suluk. Hal itu tidak akan bisa diraih, kecuali oleh orang yang  diberi taufik dan bimbingan Allah untuk mengenalinya dirinya sendiri dan mengetahui sifat-sifat buruknya. Karena siapa yang sudah mengenali dirinya dan sifat-sifat buruknya, ia akan waspada dan berusaha menghindari sifat-sifat buruknya. Jika tidak demikian, secara tidak disadarinya, ia akan terjerumus ke dalam hal-hal yang di benci Tuhannya. 

Monday, September 21, 2015

Tidak Ada Sesuatu pun yang Menghijabi Allah, Manusialah yang Terhijab dari Allah

Yang Maha Haq (Allah) tidaklah terhijab. Yang terhijab adalah pandangan mu sehingga kau tak bisa melihat-Nya karena jika Dia dikatakan terhijab, itu artinya, sesuatu menutupi-Nya. Jika Dia tertutupi sesuatu, itu artinya wujud-Nya terbatas. Segala sesuatu yang terbatas adalah lemah, padahal, “Dia adalah Maha Kuasa (qahir) atas segala sesuatu.” (QS al-an’am: 18)

Terhijab bukanlah sifat Allah swt. Yang memilki sifat terhijab hanyalah dirimu sendiri. Jika kau ingin sampai kepada-Nya, kau harus mencari dan mengobati semua kekuranganmu, niscaya kau akan sampai kepada-Nya dan melihat-Nya dengan mata batinmu.


Hikmah diatas menepis anggapan yang menyatakan bahwa tidak mustahil Allah terhalang oleh hijab karena hijab biasa digunakan oleh para pembesar atau raja untuk memperlihatkan keagungan dan kemuliaannya. Jawaban terhadap anggapan ini adalah, sekiranya Allah terhijab sesuatu, seperti halnya para pembesar dan raja, niscaya Allah terkurung dalam hijab itu, terpenjara dan terbatas ruang geraknya. Tentu hal itu tidak mungkin terjadi pada Allah swt., berdasarkan firman-Nya, “ Dan dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya dan Dialah yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui,” (QS. Al-an’am :18)

Sunday, September 20, 2015

Usahamu untuk mencari-cari kekurangan yang tersembunyi di dalam dirimu lebih baik daripada usahamu untuk menyibak tirai gaib yang terhijab bagimu.

Contoh kekurangan diri ialah sifat riya’, tingkah laku tidak sopan, bermuka dua, suka jabatan, dan haus akan kedudukan. Maknanya, kau harus mengarahkan tekadmu untuk menghapus semua keburukan itu dengan riyadhah dan mujahadah, serta berusaha untuk terbebas darinya. Upaya ini biasanya harus dibawah bimbingan seorang guru. Langkah di atas lebih bak daripada usahamu dalam menelusuri takdir yang terselebung, pelajaran yang tersembunyi, rahasia-rahasia Ilahi, ilmu laduni atau karamah. Biasanya, itu semua ditujukan demi kepuasan dirimu, bukan demi mencari ridha Tuhanmu.

Oleh karena itu, jangan kau cari semua itu dengan amalan-amalanmu. Jangan sibukan hatimu dengannya. Jangan pula berhenti di tempat munculnya karomah tersebut karena hal itu justru akan mengurangi ibadahmu.

Oleh sebab itu, orang-orang berkata. ” Jadilah pencari istiqamah, jangan menjadi pencari karamah.” Jiwamu selalu bergerak dan berkeinginan mencari karamah, padahal Tuhanmu menuntunmu untuk istiqomah. Untuk itu, menunaikan hak Tuhanmu lebih baik ketimbang kau menunaikan keinginanmu sendiri.


Friday, September 18, 2015

Orang-orang yang sedang menuju Allah mendapat petunjuk melalui cahaya perjalanan, sedangkan orang-orang yang sudah sampai kepada-Nya mendapat petunjuk melalui cahaya pertemuan dengan-Nya.

Orang-orang yang sedang menuju Allah mendapat petunjuk melalui cahaya perjalanan, sedangkan orang-orang yang sudah sampai kepada-Nya mendapat petunjuk melalui cahaya pertemuan dengan-Nya. Golongan pertama mendapat cahaya, sedangkan golongan kedua didatangi oleh cahaya. Allah swt. Berfirman, ”Katakan Allah, lalu biarkan mereka bermain-main dalam kesibukannya.” (QS al-an’am : 92)

Cahaya yang didapat golongan pertama ialah cahaya yang didapat dari ibadah dan riyadhah (olah batin) yang dijadikannya sebagai jalan menuju Allah karena biasanya perjuangan akan membuahkan cahaya di dalam hati. Dengan cahaya itu, mereka akan berjalan menuju Allah.

Adapun untuk golongan kedua, justru cahaya Allah lah yang mendatangi mereka sehingga mereka akan mudah mengenali Allah tanpa perjuangan dan susah payah.

Golongan pertama akan menjadi budak cahaya dan amat membutuhkannya untuk sampai kepada tujuan dan keinginan mereka. Sementara itu, golongan kedua akan dengan sendirinya didatangi cahaya itu sehingga ia tidak perlu bersusah payah dalam mendapatkannya.

Adapun maksud firman” katakan Allah” ialah menghadaplah kepada-Nya semata dan jangan cenderung kepada cahaya-cahaya atau hal-hal selain-Nya. Kemudian, Maksud ”biarkan mereka bermain-main dalam kesibukannya” ialah bahwa tindakan memurnikan tauhid, setelah menyingkirkan kebendaan, merupakan sikap yang didasari haqqul yaqqin (keyakinan yang kokoh), sedangkan melihat kepada selain Allah hanyalah permainan dan leha-leha. Tentu itu adalah sifat orang-orang mahjub (terhalang).

Perbedaan Salik yang Diterangi Cahaya Tawajuh dan Washil yang di Datangi Cahaya-cahaya muwajahah.

”Hendaklah orang yang diberi keluasan rezeki (yaitu orang telah sampai kepada Allah) memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya (yaitu orang yang tengah menuju Allah) hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”

”Hendaklah orang yang diberi keluasan rezeki memberi nafkah menurut kemampuannya.” Ini adalah gambaran tentang kondisi orang-orang yang telah sampai kepada Allh. Yakni orang-orang yang telah terbebas dari penjara pandangan keduniaan, dan telah sampai kepada alam tauhid dan kesempurnaan mata batin. Karena itulah, mereka dianugerahi rezeki berupa berbagai ilmu dan rahasia Ilahi serta pandangan yang luas dan jauh ke depan. Sehingga, mereka pun dibebaskan untuk membantu orang lain, dengan mengajarkan ilmu dan pemahaman mereka, sekehendak hati mereka.


Sementara itu, orang yang disempitkan rezekinya adalah orang-orang yang sedang menuju kepada-Nya. Mereka tidak diberi keluasan rezeki berupa ilmu dan pemahaman. Mereka masih terkungkung dalam ruang sempit khayalan dan imajinasi. Sekalipun demikian mereka masih diperbolehkan menafkahkan karunia Allah berupa ilmu dan pemahaman yang sedikit itu kepada orang lain. Namun dengan catatan sebatas apa yang Allah ajarkan kepada mereka. 

Thursday, September 17, 2015

Perbedaan Orang yang Menjadikan Allah sebagai Bukti Keberadaan Alam dan Orang yang Menjadikan Alam sebagai Bukti Keberadaan Allah.

Betapa jauh bedanya antara yang berdalil bahwa adanya Allah menunjukan adanya alam dan orang yang berdalil bahwa adanya alam menunjukkan adanya Allah. Orang yang menyatakan ”Adanya Allah menunjukan adanya alam” adalah orang yang telah mengenal al-Haqq (Allah) dengan kepatutan-Nya. Karena itulah, ia menetapkan keberadaan alam ini dari keberadaan pangkal (Dzat) yang membuatnya ada. Sementara itu, yang berdalil ”Adanya alam menunjukan adanya Allah” adalah orang yang belum sampai kepada-Nya. Sebab, sejak kapan Allah itu gaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan wujud alam dan kapan Allah itu jatuh sehingga semesta ini harus menjadi pengantar menuju-Nya?


Orang-orang yang dekat kepada Allah ada dua golongan, yaitu murad (yang dikehendaki Allah) atau majdzub (yang ditarik Allah untuk didekatkan kepada-Nya) dan murid (yang menghendaki Allah) atau salik (yang meniti jalan menuju Allah). Para murad atau majdzub adalah ahli syuhud.

Adapun para murid dan salik, perjalanan mereka menuju Tuhan masih terhalang akibat pandangan mereka terhadap dunia dan alam semesta. Di mata mereka, semesta teramat lahir, sedangkan Allah itu gaib.  Mereka tidak melihat-Nya, karena itu mereka berdalil bahwa wujud alam semesta ini membuktiakn wujud Allah.

Sementara itu, para murad atau majdzub, mereka langsung didekati Allah dengan Wajah-Nya Yang Mulia. Allah akan mengenalkan Diri-Nya kepada mereka. Karena itu, mereka pun akan mengenali-Nya. Semua makhluk dan alam semesta akan hilang dari pandangan mereka karena mereka berdalil bahwa wujud Allah adalah bukti dari wujud semesta. Mereka itulah kaum ’arif. Mereka termasuk orang-orang yang didekatkan Allah kepada-Nya.

Namun, karena sikap istiqoma mereka terhadap kondisi mereka, tanda di dekatkannya mereka kepada Allah (jadzab) tidak tampak pada diri merek. Oleh sebab itu, ada yang mengatakan, ”Akhir perjalanan seorang salik adalah awal perjalanan seorang majdzub.”

Manusia yang paling kuat jadzab nya adalah para nabi dan rosul. Inilah perbedaan antara kedua kelompok tersebut.

Orang yang menggunakan Allah sebagai dalil wujud alam akan mengenal Allah sebagai wujud yang wajib. Dengan kata lain, wujud itu milik Allah semata. Adapun benda-benda yang hadits (baru), aslinya tidak berwujud. Oleh karena itu, mereka menetapkan bahwa semua yang hadits berasal dari wujud asal, yaitu Allah swt. Mereka  menganggap bahwa wujud makhluk berwujud dari wujud Khalik yang tampak pada diri makhluk. Jika tidak, makhluk itu tidak akan ada. Demikian menurut pandangan ahli syuhud.

Berbeda halmya dengan yang menggunakan alam untuk membuktikan wujud Allah. Ia menggunakan sesuatu yang tidak diketahui (majhul) sebagai dalil untuk membuktikan perkara yang sudah diketahui (ma’lum), menggunakan ketiadaan (’adam) perkara untuk membuktikan keberadaan (wujud), atau menggunakan perkarayang tersembunyi (khafiy) untuk membuktikan hal yang lahir dan nyata. Hal itu dikarenakan adanya hijab pada diri orang tersebut sehingga ia lebih suka menelusuri sebab-sebab daripada mencari Sang Pembuat Sebab.

Sejak kapan Allah gaib sehingga Dia harus dibuktikan dengan sesuatu yang hadir? Sejak kapan Allah jauh sehingga alam semesta ini yang akan mendekatkan kita kepada-Nya, padahal alam semesta ini tadinya tidak berwujud? Demikian pertanyaan yang diajukan para ahli syuhud.


Sementara itu, orang-orang mahjub (yang terhalang dari-Nya) menjadikan alam semesta sebagai wujud Allah. Mereka terbagi ke dalam dua golongan, yaitu kamu awam dan para salik belum mencapai maqam ahli syuhud.

Apa yang Disembunyikan hati akan Terlihat Jejaknya di Wajah

Apa yang tersimpan di kedalaman batin akan tampak pada penampilan lahir.


Makrifat dan cahaya ilahi yang ditetapkan Allah di dalam hati seseorang pasti akan muncul pada penampilan lahirnya, pada wajah dan anggota tubuh lainnya. Ini adalah tanda untuk mengenali keadaan seorang murid menuju Allah, karena tampilan lahir adalah cermin dari keadaan batin. Bagi orang-orang yang ingin berteman dan berkumpul dengan seorang murid, penampilan lahirnya ini bisa menjadi pertanda.


Monday, September 14, 2015

Siapa yang bersinar di awal, akan bersinar pula di akhir.

Siapa yang awalnya cerah dan bersinar, misalnya dengan mengisi waktu-waktunya dengan bermacam-macam ketaatan, wirid dan bersabar sepenuh hati dalam menjalaninya, maka akhir perjalananya akan bersinar pula. Bersinar karena memancarnya berbagai nur dan makrifat kepadanya dan hilangnya berbagai kekeruhan jiwa yang menjadi penghalang antara dirinya dengan Tuhannya.


Demikian pula sebaliknya, siapa yang usahanya kurang di awal maka di akhir ia tidak akan mendapatkan kegemilangan. Sekiranya ia diberikan keberhasilan, keberhasilan itu lebih lemah daripada yang lain. Bisa jadi, pengertian ”bersinar di awal” disini ialah kembali kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya. Adapun makna ” bersinar di akhir” ialah berhasil sampai kepada-Nya. Ini sesuai dengan hikmah sebelumnya.

Di antara tanda keberhasilan di akhir adalah kembali kepada Allah di awal.

 Langkah awal seorang murid patut diperbaiki demi memperbesar kemungkinannya untuk sampai hingga akhir perjalanannya. Siapa yang memperbaiki dan meluruskan langkah awalnya dengan kembali kepada Allah dan tawakal kepada-Nya serta memohon pertolongan-Nya, bukan bergantung pada amalnya yang kurang sempurna, pada akhirnya ia akan sukses dan berhasil. Ia akan sampai pada tujuan akhirnya dan tidak akan goyah di perjalanannya. Barang siapa yang tidak melakukan hal itu maka di tengah jalan ia akan berhenti dan pulang kembali ke tempat pemberangkatanya semula.

Seorang ’arif berkata, ”Siapa yang mengira bahwa ia telah sampai kepada Allah tanpa bantuan-Nya maka ia akan terhenti di jalan. Siapa yang memohon bantuan dirinya sendiri dalam beribadah kepada Allah maka ia akan bergantung pada dirinya sendiri.”


Mintalah kepada Allah, Pasti Terkabul

Apa yang kau minta tak akan terhalang selama memintanya kepada Tuhanmu. Namun, apa yang kau minta tak akan datang selama kau mengandalkan dirimu sendiri.

Permintaan yang dimaksud pada hikmah ini bersifat umum, meliputi semua permintaan, baik itu yang berkaitan dengan dunia maupun akhirat. Apa yang kau minta dan inginkan tidak akan terhalang selama dalam mencarinya kau tetap memperhatikan Tuhanmu, menghadirkan-Nya dalam hatimu, dan bersandar kepada-Nya agar memudahkan permintaan dan urusanmu. Namun, permintaan itu sulit kau raih bila kau lalai dari-Nya dan bersandar kepada orang-orang sekitarmu atau pada kekuatanmu sendiri.


Barang siapa menyerahkan segala kebutuhannya kepada Allah, berlindung dan bertawakal kepada-Nya, Allah akan mencukupi kebutuhannya, mendekatkan yang jauh darinya dan memudahkan segala yang sulit baginya. Barang siapa yang mengandalkan ilmu dan akalnya serta bersandar pada kekuatan dan kemampuannya, Allah akan mempersulitnya dan membuatnya gagal. Apa yang di inginkan dan di butuhkannya itu tidak akan mudah di dapatkan dan sulit diwujudkan.

Jangan Merasa Aneh dengan Kesuraman Hidup di Dunia

Jangan merasa aneh dengan terjadinya penderitaan-penderitaan selama aku masih hidup di dunia ini karena dunia hanya akan menampakan apa yang mesti ditampakannya.

Diantara hal yang lazim  terjadi di dunia adalah derita dan kesulitan. Dunia ini diciptakan sebagai tempat kebendaan dan gudang penderitaan agar kau menjauhkan dirimu dari sana.

Ja’far ash-Shadiq berkata, ” Siapa yang mencari apa yang belum diciptakan berarti menyiksa dirinya sendiri karena ia mencari sesuatu yang tak akan pernah didapatkannya.”

Ia lalu ditanya, ”Apa gerangan yang tak akan pernah didapatkannya itu? ”
Ia menjawab,”Kenyamanan di dunia.”


Oleh karena itu, seorang murid yang tulus tidak boleh melirik dunia. Ia harus terus semangat dalam meniti jalannya agar mentari makrifat terbit kepadanya sehingga tipuan benda-benda duniawi itu hilang dari pandangannya dan penderitaan akan sirna dengan kesempatannya melihat Tuhan Yang Maha Mulia dan Pengampun.

Jangan menanti-nanti hilangnya kecenderungan-kecenderungan kepada dunia.

Jangan menanti-nanti hilangnya kecenderungan-kecenderungan kepada dunia. Karena hal itu dapat membuatmu lupa akan adanya pengawasan Allah atas ahwal yang telah ditetapkan-Nya untukmu.

Kecenderungan-kecenderungan kepada dunia memang merupakan kegelapan yang dapat menghalangi hati dari melihat Tuhan. Namun demikian, jangan pula kau menanti-nanti dan bertanya-tanya kapan kecenderungan-kecenderungan itu bisa hilang secara total dari hatimu. Sebab, hal ini bisa membuatmu lupa bahwa kondisi (ahwal) yang telah ditetapkan untukmu saat ini, yakni berupa amal-amal yang bisa mengantarkanmu kepada-Nya, adalah berada dalam pengawasan-Nya.

Yang dituntut dari dirimu ialah senantiasa istiqomah dalam menjalani kebiasaanmu dan tetap merasa diawasi Allah. Jangan kau sibuk dengan segala hal yang masuk kedalam hatimu, baik berupa kegelapan maupun cahaya karena hal itu justru akan memutusmu dari kebiasaanmu.

Dianggap memutus karena jiwamu selalu dibayangi keraguan, ”Kalu benar aku ini ahli iradah, tentunya kecenderungan-kecenderungan kepada dunia ini tidak mungkin lagi masuk kedalam hatiku, apalagi dengan banyaknya ibadah yang sudah kulakukan selama ini.” Sehingga hatimu sibuk dengan bisikan dan gangguan ini. Mungkin ia terus membisikimu agar kau melupakan apa yang menjadi tujuanmu atau agar kau meninggalkan amal saleh.


Biasanya, sebab kemunculan kecenderungan-kecenderungan kepada dunia ini adalah kotoran-kotoran keduniaan yang menghampiri hatimu. Dan ini adalah persoalan yang mau tidak mau harus kau hadapi.

Sunday, September 13, 2015

Pada setiap desahan nafas yang kau hembuskan terdapat takdir Allah yang telah ditetapkan.

Setiap napas yang keluar darimu  telah ditakdirkan Allah, baik yang terkandung di dalamnya ketaatan, maksiat, nikmat, maupun petaka. Setiap napas yang  keluar darimu adalah satu dari sekian takdir Allah untukmu, siapapun dirimu. Oleh karena itu, kau harus tetap menjaga kesopananmu di hadapan-Nya dan menyadari bahwa Dia selalu mengawasimu dalam setiap desahan napasmu. Dengan begitu, Di setiap napas, kau menjadi seorang salik yang ingin meniti jalan menuju Allah. Inilah makna ungkapan. ”Jalan menuju Allah sebanyak desahan napas seluruh makhluk.”

Empat Sikap Perilaku Hamba saat Berhubungan dengan-Nya

Empat Sikap Perilaku Hamba saat Berhubungan dengan-Nya

Meminta kepada Allah berarti menuduh-Nya, Mencari Allah berarti menggibah-Nya. Mencari selain Allah pertanda tak punya malu kepada-Nya dan meminta kepada selain Allah pertanda jauh dari-Nya.


Dalam perjalanannya menuju Allah, seorang murid harus sibuk melakukan amal-amal saleh yang diridhai Tuhannya. Hatinya tidak boleh sibuk mencari sesuatu yang lain karena itu tercela dan bisa memutus jalannya menuju Allah.

Bila kau meminta kepada Allah agar Dia memberimu rezeki dan makanan yang dapat membantumu berjalan atau agar Dia meluaskan rezekimu, sama dengan menuduh-Nya tidak pernah memberimu rezeki. Jika kau percaya bahwa Dia Maha Mengetahui kebutuhanmu dan Maha Kuasa memberimu tanpa kau minta, tentu kau tidak akan meminta sesuatu pun dari-Nya.

Bila kau mencari-cari Allah agar kau didekatkan kepada-Nya, dihilangkan hijab antara dirimu dengan-Nya, dan dapat melihat-Nya dengan mata hatimu, tindakan ini sama saja dengan melakukan gibah terhadap-Nya (membicarakan-Nya di belakang) karena Dzat Yang Mahahadir tidak perlu lagi dicari-cari.

Bila kau mencari selain Tuhanmu, baik itu berupa harta, kedudukan, kehormatan, maupun yang lainnya, itu membuktikan sedikitnya rasa malumu kepada-Nya. Jika kau malu kepada-Nya, tentu kau tidak akan mencari selain-Nya.

Bila kau meminta kepada selain-Nya, seperti meminta kepada seorang manusia untuk mengatasi persoalan-persoalanmu dan saat meminta itu kau lupa kepada Tuhanmu, itu menandakan bahwa kau begitu jauh dari-Nya. Jika kau dekat dengan-Nya, pasti kau akan jauh dari selain-Nya. Sekiranya kau menyadari kedekatan-Nya denganmu, niscaya kau akan menghindari makhluk-makhluk-Nya. Namun, karena kejauhanmu dengan-Nya, kau merasa butuh kepada selain-Nya untuk kau jadikan tempat berlindung dan meminta.


Bagi kalangan murid, meminta kepada sang Khalik adalah hal yang lumrah. Bahkan, meminta kepada makhluk pun adalah hal yang wajar, kecuali meminta dalam kerangka ibadah, etika, mengikuti perintah, atau menyatakan kebutuhan. Sementara itu, orang-orang ’arif hanya memandang kepada Allah. Permintaan mereka, walaupun secara lahir tampak kepada makhluk, namun sebenarnya kepada sang Khalik.

Rahasia Ilahi Bukanlah Tujuan Utama Orang ’Arif



Di saat tekad seorang salik ingin berhenti pada apa yang tersingkap baginya, suara-suara hakikat pun memperingatkannya, ” Yang kau cari ada di depanmu” Dan di saat pesona alam tampak menggoda, hakikat-hakikatnya pun berujar, ”Kami hanyalah ujian, maka jangan kau kufur”

Tekad seorang salik (peniti jalan menuju Allah) tidak akan berhenti setelah mendapatkan makrifat, rahasia dan cahaya-cahaya Ilahi. Ia tidak akan memandang bahwa makrifat, ahwal dan maqam yang telah diraihnya merupakan tujuan utama dan akhir dari perjalanannya. Bisikan-bisikan hakikat ilahi akan menyeru hatinya agar tidak berhenti sampai di situ, ”Karena apa yang kau cari ada di depanmu!” Apa yang dicari dan diinginkan seorang salik adalah ”Sampai kepada Tuhannya”, bukan sampai kepada sesuatu selain-Nya.

Saat dunia menebar pesonanya, ia akan berseru dengan suara yang tak tak kau dengar, ”Kami hanya ujian dan cobaan maka jangan kau tertipu oleh kami dan jangan berhenti sampai di sini. Jangan jadikan dirimu budak kami sehingga kau terhalang dari Allah karena sikap semacam ini sama saja dengan kufur terhadap nikma Tuhan Pemberi Nikmat.”


Syukur atas nikmat Tuhan diwujudkan dengan cara menemui dan mendatangi Tuhan Yang Mamberi nikmat, sedangkan sikap berpaling dari nikmat, namun di saat yang sama tetap menikmati nikmat tersebut, adalah cerminan sikap tidak tahu diri di hadapan Tuhan.

Wednesday, September 9, 2015

Menunda Amal Saleh termasuk Sikap Bodoh



Menunda amal karena menunggu waktu yang luang termasuk tanda kebodohan


Jika seorang murid menunda-nunda amal yang bisa mendekatkannya kepada Tuhannya karena merasa tidak memiliki waktu luang di sela-sela kesibukan dunianya, tindakan itu merupakan tanda kebodohan jiwanya. Disebut bodoh karena ia telah menunda amalnya dengan menunggu waktu luang. Padahal, bisa jadi, alih-alih mendapatkan waktu luang untuk beramal ibadah, justru kesibukannya semakin bertambah karena kesibukan dunia pasti akan terus bertumpuk sebab satu sama lain saling berkaitan.

Bahkan, andai kata ia mendapatkan waktu luang, tentu tekad dan niatnya pun sudah melemah. Oleh karena itu, sepatutnya ia segera bangkit melakukan amal-amal yang mendekatkan dirinya kepada Tuhannya sebelum terlambat. Pepatah mengatakan, ”Waktu ibarat pedang. Jika kau tidak bisa menggunakannya, niscaya ia akan menebasmu.”


Jangan meminta Allah untuk mengeluarkanmu dari satu kondisi agar kau bisa dipekerjakan-Nya.


Jangan meminta Allah untuk mengeluarkanmu dari satu kondisi agar kau bisa dipekerjakan-Nya. Jika memang Dia menghendaki, niscaya Dia akan mempekerjakanmu tanpa harus mengeluarkanmu dari kondisi itu.


Jika kau mengira bahwa keberadaanmu di satu kondisi telah menghambatmu untuk mendekatkan diri kepada-Nya, jangan meminta-Nya mengeluarkanmu dari kondisi itu karena jika Allah mencintaimu dan kau termasuk ahli iradah (yang dikehendaki Allah), Allah akan mempekerjakanmu dengan penuh kasih sayang, membimbingmu melakukan amal-amal saleh, dan menyibukan hatimu dengan-Nya, tanpa harus mengeluarkanmu dari kondisi lamamu.

Jika seorang murid berada dalam kondisi yang tidak sesui dengan tujuannya (namun dari sudut pandang syariat, kondisi itu tidak terlarang), tak layak baginya untuk menghendaki keluar dari kondisi itu dna menentang ”hukum waktu” sebagaimana dijelaskan dalam hikmah diatas. Ia juga tidak layak meminta Tuhannya segera mengeluarkannya dari sana agar bisa dipekerjakan-Nya pada kondisi lain karena kondisi itu adalah pilihan Allah dan ia tidak perlu bingung dalam hal ini.

Yang patut dilakukannya adalah tetap menjaga etika dan kesopanannya terhadap Tuhannya serta mendahulukan kehendak-Nya atas pilihannya sendiri. Jika Tuhannya melihat sikap baiknya ini, Dia akan mempekerjakannya tanpa perlu mengeluarkannya dari kondisi tersebut. Dengan demikian, ia pun beramal sesuai kehendak Allah, bukan berdasarkan kehendaknya sendiri. Akan lebih baik lagi baginya bila ia juga meyakini bahwa ia akan mencapai tujuannya tanpa harus keluar dari kondisi tersebut.


Lain lagi halnya ia berada dalam kondisi yang tidak sesuai dengan syara’. Dalam hal ini, ia harus segera keluar dari kondisi tersebut dan meminta Tuahannya agar memindahkannya ke kondisi yang lebih diridhai-Nya.

Tuesday, September 8, 2015

Bodohnya Orang yang Ingin Mengubah Kehendak Allah




Jika hati atau tubuh seorang murid sedang berada dalam satu keadaan (ahwal) tertentu, ia harus tetap menjaga kesopanan di hadapan Allah dengan merelakan diri untuk tetap berada pada keadaan tersebut sampai Allah sendiri yang memindahkannya dari sana. Dengan satu catatan, keadaan tersebut tidak bertentangan dengan syariat.

Misalnya, jika ia sedang berada dalam keadaan terlepas keduniaan (tajrid), ia harus menahan diri untuk terus berada dan rela dalam keadaan tersebut sampai Allah sendiri yang memindahkannya ke keadaan lain. Jika terbesit di hatinya keinginan untuk mencari penghidupan (kasab), itu artinya ia tidak sopan kepada Tuhannya karena ia sudah menolak keadaan yang dikehendaki-Nya untuknya. Demikian pula, seorang murid dianggap tidak sopan terhadap Tuhannya, jika ia sedang berada dalam satu pekerjaan, namun ingin pindah ke pekerjaan lain, atau sedang berada dalam keadaan miskin, namun ingin menjadi kaya.

Empat puluh tahun silam, seseorang berkata kepadaku, ”Bila Allah menempatkanku pada suatu kondisi (ahwal), tidak pernah sedikitpun aku kesal. Bila Dia memindahkanku ke kondisi lain, tidak pernah sekalipun aku menolaknya.” Ungkapan ini adalah buah dari ilmu dan pengetahuan (makrifat) tentang Allah dan ketuhanan-Nya.


Jika seorang membenci keadaan dirinya saat ini, lalu ia bersikukuh ingin pindah ke dari keadaan itu dan menghendaki keadaan lain yang berbeda dengan apa yang ditampakkan Allah kepadanya, itu artinya, ia tidak mengenali Tuhannya sama sekali dan sudah bersikap tidak sopan terhadap-Nya. Tentu ini adalah tindakan menentang ”hukum waktu” yang diisyaratkan oleh kaum sufi. Bagi kaum sufi, menentang ”hukum waktu” merupakan dosa paling besar.

Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu ??

Bagaimana  bisa Tuhan terhalang sesuatu, Padahal Dia yang menampakan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak bersama segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak pada segala sesuatu? Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak untuk segala sesuatu? Bagaimana mungkin terhalang sesuatu, padahal dia tampak sebelum keberadaan segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu? Bagaimana mungkin terhalang sesuatu, padahal Dia Esa tanpa ada yang bersama-Nya? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu? Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu padahal jika bukan karena Dia, wujud segala sesuatu tidak akan ada? Sungguh aneh, Bagaimana mungkin keberadaan (wujud) bisa tampak dalam ketiadaan (’adam)? Atau, bagaimana bisa sesuatu yang baru bersanding dengan Yang Maha Dahulu?


Allah menampakan segala sesuatu dengan cahaya wujud dari gelapnya ketiadaan. Dengan kemunculan cahaya-Nya dalam segala sesuatu, semuanya menjadi tampak. Jika wujud segala sesuatu bergantung pada cahaya-Nya, mustahil sesuatu itu menutupi-Nya sehingga membuat-Nya terselubung dan tidak tampak. Tindakan ”menampakan” meniscayakan penampakan Dzat yang melakukannya. Allah lah yang menampakan segala sesuatu agar orang-orang yang berakal menjadikannya sebagai bukti keberadaan-Nya.

Allah swt. Berfirman,”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS fushilat : 53)


Menurut ahli syuhud, Allah tampak pada segala sesuatu dengan penampakan Dzat-Nya. Sementara itu, menurut ahli hijab, Dia tampak pada segala sesuatu dengan penampakan sifat dan asma-Nya. Segala sesuatu hanyalah objek penampakan dari makna-makna asma dan sifat-Nya. Pada benda atau orang yang mulia, tampaklah sifat Mahamulia (’aziz) milik-Nya dan pada benda atau orang yang hina, terlihatlah sifat Maha Menghinakan (mudhil) milik-Nya.

Pada setiap makhluk hidup tampak jelas sifat Maha Menghidupkan (muhyi) milik-Nya. Saat Allah mencabut nyawa, tampaklah sifat Maha Mematikan (mumit). Saat memberi, terlihatlah sifat Maha Memberi (mu’thi). Saat menahan pemberian, terlihat sifat Maha Menahan (mani’). Saat  Memberi karunia, tampak sifat Maha Memberi Karunia (karim). Saat mengabulkan doa, tampak sifat Maha Pengabul Doa (mujib). Saat menimpakan bahaya atau mendatangkan manfaat, tampaklah sifat Maha Pemberi Bahaya (dharr) dan Maha Pemberi Manfaat (nafi’) dan sebagainya.


Bagaimana bisa Allah terhalangi sesuatu, padahal Dia muncul atau tampak pada segala sesuatu sehingga bisa dikenali. Karena itulah, seluruh semesta alam bersujud dan bertasbih kepada-Nya, tetapi kita tidak mendengar dan memahami tasbih mereka. Semua makhluk di alam ini, baik yang bernyawa maupun yang tidak, mengenali Allah, namun itu bergantung pada kadar penampakan Allah sesuai kadar penampakan Allah yang dilihatnya. Jika ada makhluk yang tidak mengagungkan Allah sesuai kadar keagungan-Nya, maka hal itu disebabkan oleh lemahnya makrifat (pengenalan) tentang-Nya, bukan karena ketiadaan makrifat sama sekali...

Bagaimana mungkin Tuhan terhalangi sesuatu, sedangkan Dia Zhahir sebelum wujud segala sesuatu? Karena asma-Nya sudah tampak sejak azali. Kemunculan Allah sendiri sudah merupakan sifat asli-Nya (zhahir), tidak didapat dari luar, tidak beralasan, dan tidak diserap dari mana saja. Sementara itu, kemunculan alam semesta adalah akibat kemunculan Allah disana dengan zhahir-Nya. Jika demikian, bagaimana mungkin semesta dapat menghalangi-Nya ?

Bagaimana bisa Allah terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu? Karena dalam setiap kondisi, wujud (keberadaan) lebih tampak daripada ’adam (ketiadaan), juga karena kemunculan substansial lebih kuat daripada kemunculan aksidental. Kemunculan yang bersumber dari diri sendiri lebih kuat daripada kemunculan yang diakibatkan faktor luar. Kemunculan mutlak lebih kuat daripada kemunculan relatif. Kemunculan yang abadi lebih kuat daripada kemunculan yang fana.

Wujud Tuhan tidak diketahui akal karena kemunculan-Nya amat dahsyat. Kemunculan dahsyat itu tak akan bisa diketahui oleh orang-orang lemah. Seperti halnya seekor kelelawar yang hanya mampu melihat di kegelapan malam, sedangkan di siang hari ia tidak mampu melihat apa-apa. Hal itu dikarenakan kuatnya kemunculan siang. Sementara itu, penglihatan mata kelelawar amat lemah. Ia tak sanggup melawan pancaran cahaya matahari. Kuatnya kemunculan siang dan lemahnya penglihatan itulah yang menjadi sebab kelelawar tak mampu melihat di siang hari.

Seperti itulah akal, ia akan lemah di hadapan kemunculan Ilahi yang sinar dan cahaya-Nya menyilaukan. Kuatnya kemunculan Ilahi inilah yang menjadi sebab ketersembunyian-Nya dari segala sesuatu.

Bagaimana mungkin sesuatu akan menghalangi Allah, padahal Dia Yang Esa dan tak ada sesuatu pun yang bersama-Nya? Karena segala sesuatu selain Allah tidak ada dan tidak berwujud. Dengan demikian, tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi-Nya karena semua wujud hakiki hanya milik Allah, bukan milik selain-Nya.

Bagaimana mungkin Allah terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu? Karena Dia mampu meliputi dan mengaturmu. Allah swt. Berfirman, ” Dan kami lebih dekat daripada urat lehernya.” (QS Qaf :56)

Menurut ahli syuhu. Dzat Allah amat dekat kepada kita. Adapun menurut ahli hijab, Tuhan dekat kepada kita dalam pengertian dekat ilmu, kekuasaan, dan sifat-sifat-Nya yang lain.

Bagaiman bisa Allah terhalangi sesuatu, padhal tanpa Dia, segala sesuatu tidak akan ada? Sampai-sampai para musyahidun (yang merasa menyaksikan Allah) menjadikan Allah sebagai dalil untuk membuktikan keberadaan segala sesuatu.

Allah swt. Berfirman, ”Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat :53)

Sungguh aneh, bagaimana mungkin wujud (keberadaan) tidak tampak selain ’adam (ketiadaaan)? ’Adam adalah kegelapan, sedangkan wujud adalah cahaya. Keduanya mudah dibedakan.

Bagaimana bisa sesuatu yang baru (hadits) bersanding dengan Yang Maha Dahulu (qadim)? Bagaimana mungkin sesuatu yang baru muncul bersamaan dengan yang memiliki sifat qidam. Yang baru itu bathil, sedangkan Allah itu Haq (Maha Benar). Kebatilan akan sirna dengan adanya kebenaran.

Allah swt. Berfirman, ”Dan katakanlah. ’Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap,’ Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. Al Isra :18)

Sosok yang lahir (tampak) dan tsabit (tetap) itulah Tuhan Yang Maha Haq, Allah swt., bukan alam semesta. Tak ada yang berwujud, kecuali Allah karena Dia yang nampak dan menampakan, yang maujud dan berbeda dari segala penampakan lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan yang bernada keheranan dalam hikmah ini pasti akan diajukan oleh mereka yang pernah merasakan pengalaman syuhud. Oleh karena itu, semakin kuat pengalaman syuhud yang dirasakan seseorang maka semakin sinarlah alam semesta ini dari pandangannya.


Saturday, September 5, 2015

Di antara tanda kekuasan Allah adalah Dia mampu menghalangimu dari melihat-Nya dengan sesuatu yang tidak ada.




Para ’arif sepakat bahwa segala sesuatu selain Allah adalah tidak ada. Segala sesuatu selain Allah dianggap tidak berwujud dibandingkan dengan wujud-Nya.

Seorang ’arif berkata, ” Para muhaqqiq (peraih maqam makrifat) menolak memandang selain Allah karena mereka telah berhasil menyaksikan kuasa dan keabadian Allah dalam mengatur dan meliputi segala sesuatu.”

Semua hal selain Allah dianggap tidak ada, namun mengapa ia menjadi penghalang bagi manusia untuk dapat menyaksikan Allah? Mengapa saat manusia menyaksikan alam semesta, mereka hanya melihat wujud alam semesta tanpa melihat siapa yang mewujudkannya? Padahal alam itu tidak berwujud sama sekali karena mewujudkannya hanyalah Allah swt. Inilah yang amat mengherankan.


Kemudian, pada hikmah dibawah ini, Ibnu Atha’illah menyebutkan dalil-dalil yang menegaskan bahwa seorang ’arif tidak layak terhijab oleh semesta karena kondisi ini hanya dialami oleh orang awam.

Wujud Allah itu Jelas dan Tidak Terhalang Oleh Sesuatu



Semesta itu seluruhnya gulita. Ia hanya akan diterangi oleh wujud Allah. Siapa yang melihat semesta, namun tidak melihat-Nya disana atau tidak melihat-Nya ketika, sebelum, atau sesudah melihat semesta, berarti ia telah disilaukan oleh cahaya-cahaya lain dan terhalang dari surya makrifat karena terutup tebalnya awan dunia.


Di mata para ahli syuhud (orang yang menyaksikan kehadiran Allah dalam segala sesuatu), dunia ini tidak berwujud. Yang membuat dunia ini nampak hanyalah wujud Allah semata, persis seperti pancaran sinar matahari yang masuk kedalam sebuah lentera berkaca. Tak ada wujud, kecuali wujud Yang Maha Benar. Dengan kemunculan Allah pada segala sesuatu, semuanya menjadi ada, sesuai tabiatnya masing-masing. Aslinya, mereka tidak berwujud dengan sendirinya.

Jika demikian, barang siapa yang melihat alam semesta ini tanpa merasakan kehadiran Allah disana, berarti ia telah kehilangan nur Ilahi (cahaya Allah) yang membuatnya mendapat musyahadah. Di samping itu, ia juga tidak mungkin akan mendapat makrifat karena ia telah disilaukan oleh semesta ini.

Disini Ibnu Atha’illah menyinggung tentang bermacam-macam tingkatan ahli syuhud dalam memandang Allah. Di antara mereka ada yang menyaksikan Sang Pencipta terlebih dahulu sebelum menciptakan ciptaan-Nya. Jika pandangannya jatuh pada suatu benda, Dia yang menggerakan dan mendiamkannya. Itu terjadi sebelum dibenaknya terbesit apakah benda itu manusia ataukah domba, tinggi ataukah pendek, dan sebagainya.

Ada juga yang menyaksikan Tuhan setelah tahu bahwa benda yang disaksikannya itu adalah binatang. Ada yang menyaksikan Tuhan tepat di saat ia menyaksikan sebuah benda. Ada pula yang menyaksikan Tuhan pada benda itu.

Hikmah ini teramat sulit untuk dijabarkan karena semua pengalaman di atas tidak bisa diungkapkan melalui ucapan atau  tulisan, namun hanya bisa dirasakan. Orang yang mengalami syuhud akan kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya.


Friday, September 4, 2015

Hati Tidak Mungkin Bersinar manakala keduniaan Menutupinya.


Bagaimana mungkin kalbu akan bersinar, sedangkan bayang-bayang dunia terpampang di cerminnya? Bagaimana mungkin akan pergi menyongsong Ilahi, sedangkan ia masih terbelenggu nafsunya? Bagaimana mungkin akan bertamu ke hadirat-Nya, sedangkan ia belum bersuci dari kotoran kelalainya? Bagaimana mungkin diharapkan dapat menyingkap berbagai rahasia, sedangkan ia belum bertobat dari kekeliruannya?

Bagaimana mungkin kalbu akan bersinar terang, sedangkan anasir keduniaan masih menyelimutinya dan dianggap bisa mendatangkan manfaat serta bahaya? Bahkan, anasir keduniaan itu begitu diandalkannya.

Jika hati masih terbelenggu nafsu, bagaimana mungkin bisa berjalan menuju Allah? Orang yang dibelenggu tentu tidak akan mampu berjalan. Bagaimana pula hati bisa melihat Allah, sedangkan ia masih belum suci dari junub kelalainnya?

Disini, Ibnu Atha'illah mengumpamakan kelalaian dengan junub. Dan seorang yang sedang junub tidak diperbolehkan memasuki masjid. Seperti itu pula orang yang dikuasai kelalaian, ia tidak akan diizikan menemui Allah.

Bagaimana mungkin hati akan mewarisi ilmu kaum 'arif, sedangkan ia belum bertobat dari kesalahan atau maksiat yang tidak disengaja dilakukannya?

Dalam hikmah di atas, Ibnu Atha'illah mengungkapkan kejanggalan yang dilihatnya. Menurutnya, bagaimana mungkin seseorang bisa meraih sesuatu yang diinginkannya, sedangkan ia masih melakukan hal-hal yang justru merintangi pencapaiannya. Hati yang bercahaya hanya dapat diraih dengan cahaya iman dan keyakinan, bukan dengan harta dan hal-hal yang bersifat duniawi. Keduniaan justru akan membuat hati menjadi gelap.

Perjalanan menuju Allah hanya bisa dilakukan dengan memutus belenggu nafsu dan syahwat, bukan dengan menuruti nafsu dan syahwat. Pertemuan dengan Allah hanya bisa terjadi bila hati telah suci. Hati yang masih belum suci atau masih dikotori oleh kelalaian akan menghalangi pertemuan dengan Allah. Kemampuan menguasai ilmu dan mengetahui detail-detail rahasia hanya bisa didapat melalui ketakwaan, bukan dengan keinginan yang besar untuk selalu melakukan maksiat.

Allah swt. berfirman, "Dan bertaqwalah kepada Allah,niscaya Allah akan mengajarimu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS al-Baqarah :282)

Dalam sebuah khabar disebutkan, "Siapa yang beramal dengan ilmunya, maka Allah akan mewarisinya ilmu yang tidak diketahuinya."

Keempat hal diatas sebenarnya saling mempengaruhi satu sama lain. Tampilnya gambaran keduniaan di dalam cermin hati menjadi sebab terbelenggunya hati oleh syahwat. Keterbelangguan hati dapat menyebabkan kelalaian. Kelalaian menjadi sebab segala kekeliruan, dan kekeliruan menjadi sebab butanya hati.

Manfaat 'uzlah


Tiada yang lebih berguna bagi hati selain ' uzlah. Dengan 'uzlah, hati memasuki lapangan tafakur.

'Uzlah (menyendiri) merupakan cara terbaik bagi seorang murid untuk membersihkan hati dari segala kelalaian dan mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Tafakur itu umpama sebuah lapangan. Di sana, hati berputar-putar seperti seekor kuda yang berpacu di sebuah arena pacuan.

Bila seorang murid terlalu banyak bergaul dengan manusia, pandangan dan hatinya akan tertuju pada keduniaan sehingga yang kemudian tampak jelas dihadapannya hanyalah hal-hal yang bersifat materi fana. Tidak demikian jika ia ber-'uzlah menjauhi pergaulan dengan manusia, hatinya akan disibukkan dengan hal-hal gaib.

Dalam sebuah khabar disebutkan "Bertafakur sesaat lebih baik daripada ibadah 70 tahun."

Ada seseorang yang bertanya kepada Ummu ad-Darda, "Amalan apa yang paling diutamakan Abu Darda?"
Ummu ad-Darda menjawab, "Tafakur." Dengan bertafakur, seseorang bisa menjalani hakikat, mengagungkan Allah, dan mengutamakan segala hal yang diridhai-Nya. Dengan bertafakur, ia bisa menganggap hina semua hal yang dibenci Allah sehingga terdorong untuk meninggalkannya. Dengan bertafakur, seseorang bisa mengetahui keburukan-keburukan jiwa yang terselubung, kejahatan musuh dan tipuan dunia. Ia juga bisa mengenali segala muslihat sehingga bisa dengan mudah menghindarinya dan selamat dari bahaya-bahaya yang di timbulkannya.

Dengan menyendiri dan merenung, seorang murid melatih diri untuk berkhalwat, salah satu dari 4 rukun tarekat (tiga rukun lainnya adalah bersikap diam, berlapar-lapar, dan bangun tengah malam). Ini bagi murid yang menempuh jalan tarekat sendirian.

Adapun bagi murid yang berada di bawah bimbingan guru, tentu ia harus banyak bergaul dengan gurunya, juga dengan saudara-saudara yang turut membantu menempuh jalan tarekat. Jika ia telah menjadi 'Arif, tak masalah baginya bergaul dengan manusia manapun karena saat itu dimatanya hanya Allah yang terlihat. Perlu dicamkan bahwa menjadi tujuan utama adalah tafakur, sedangkan 'uzlah (menyendiri) hanya sebagai media atau faktor pendukung.

Kemasyhuran Sangat Membahayakan Seorang Murid



Kuburlah dirimu di tanah kerendahan karena sesuatu yang tumbuh tanpa dikubur (ditanam) hasilnya kurang sempurna.

Maksud "tanah kerendahan" adalah tanah dimana popularitas tak tumbuh subur. Maksud "kuburlah dirimu disana" adalah kau tidak usah menempuh sebab-sebab popularitas, seperti menawarkan dirimu untuk sebuah jabatan yang membuatmu terkenal. Seandainya kau terpaksa terkenal, kau harus merendah hati dan jangan mencari kedudukan tertentu. Jangan memandang jabatan yang sedang kau sandang sebagai hal yang besar. Yakinlah bahwa kebaikan akan kau dapatkan saat kau meninggalkan itu semua. Namun, jangan kautinggalkan semua itu, kecuali atas bimbingan gurumu atau atas izin Tuhanmu.

Ibnu Atha'illah memberi contoh tentang hal itu dengan ungkapan, "Sesuatu yang tumbuh tanpa dikubur (benihnya) hasilnya kurang sempurna". Maksudnya, benih yang tidak ditanam dalam-dalam hanya akan tumbuh lemah, kering dan tak bisa dimanfaatkan. Bahkan mungkin benih itu akan mudah dimakan oleh burung atau binatang lain sebelum tumbuh menjadi tanaman.

Demikian pula seorang salik, jika ia mencari-cari popularitas di awal, jarang yang berhasil di akhir. Semakin ia merendahkan diri maka maqam ikhlas akan semakin cepat diraihnya. Bila sejak awal ia mendasari segala urusannya atas sikap menjauh dari makhluk, tidak mau dikenang, tidak suka popularitas, dan memilih untuk bersaa Tuhannya, ia akan bersama Tuhannya. Jika Tuhan berkehendak, Dia akan memunculkannya dan menjadikannya terkenal. Jika tidak, Dia akan menutupinya dan membuatnya tidak dikenal.

Abu al-Abbas rahimahullah berkata "Siapa yang menginginkan popularitas, ia adalah budak popularitas. Siapa yang mencintai para penguasa ia akan menjadi budak penguasa.Siapa yang menyembah Allah, baginya sama saja, terkenal atau tidak."

Thursday, September 3, 2015

Amal itu seumpama jasad, sedangkan keikhlasan adalah ruhnya.


Amal itu ibarat jasad yang tak bernyawa, sedangkan keikhlasan laksana ruh yang menjadikan jasad itu hidup. Keikhlasan setiap orang berbeda-beda. Keikhlasan para 'abid (ahli ibadah) berbentuk bersihnya amal mereka dari sifat Riya' yang nyata maupun yang tersamar dan dari niat yang didasari hawa nafsu. Mereka beramal karena Allah, mengharap pahala-Nya, serta ingin selamat dari adzab dan siksa-Nya. Namun demikian, mereka menisbatkan amal itu pada diri mereka dan menjadikannya sebagai termpat bergantung untuk meraih apa yang mereka inginkan.

Sementara itu, bentuk keikhalasa para muhibbin (pencinta Allah) tergambar dalam niat amal mereka yang ditujukan sebagai wujud pengagungan dan penghormatan mereka terhadap Allah yang memang layak mendapatkannya. Dalam beramal, mereka tidak bertujuan mendapat pahala atau takut siksa-Nya.

Oleh sebab itu, Rabi'ah al-Adawiyah berkata, " Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka-Mu atau berharap surga-Mu."

Sementara itu, keikhlasan para 'arif berbentuk kesaksian dan pandangan mereka bahwa Allah semata yang menggerakan dan mendiamkan mereka. Mereka tidak merasa memiliki daya dan upaya dalam hal itu. Oleh karena itu, mereka tidak beramal, kecuali dengan bantuan Allah, bukan dengan daya dan kekuatan mereka. Tingkat keikhlasan para 'Arif ini merupakan tingkat keikhlasan tertinggi.

Ruh Amal adalah Ikhlas


Yang dimaksud asupan hati disini adalah makrifat Tuhan dan rahasia ruhani yang masuk ke dalam relung hati. Asupan hati ini akan mendorong munculnya sifat-sifat dan ahwal (keadaan) terpuji. Ada yang membuahkan karisma. Ada yang mendorong kelembutan. Ada pula yang memupuk kedermawanan.

Kerap kali kaudapati sebagian murid yang rajin shalat, ada pula yang rajin puasa, dan sebagainya. Sebabnya adalah perbedaan asuapan Ilahi yang mengakibatkan perbedaan kecenderungan seseorang. Setiap orang harus beramal sesuai kecenderungannya jika ia belum mendapat bimbingan dari gurunya. Sebaliknya, apabila ia telah mendapat bimbingan dari guru, ia tidak boleh beramal, kecuali dengan izin sang guru.


Kesimpulannya, beragam wirid dan zikir yang dilakukan para murid adalah akibat dari beragamnya asupan yang masuk ke hati mereka. Setiap murid harus beramal sesuai asupan hatinya atau sesuai bimbingan guru. Ia tidak boleh beramal berdasarkan asupan hati orang lain. Orang lain pun tidak boleh menentangnya hanya karena tidak melakukan apa yang dilakukannya. 

Wednesday, September 2, 2015

Makrifat Allah Tidak ada Kaitannya dengan Amalmu




Dalam perjalanan menuju Tuhannya, seorang salik harus memperbanyak amal untuk menekan dorongan-dorongan nafsu syahwat sehingga ia bisa sampai kepada Allah. Di sisi lain, seorang salik dituntut juga untuk ber-mujahadah dalam waktu lama. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan di sela-sela itu ia merasa malas melakukan sebagian ibadah dan wirid yang diharuskan. Sehingga ia pun tergerak untuk meninggalkan semuanya. Padahal, di saat yang sama, ia telah sampai pada satu tahapan makrifatullah.

Oleh karena itu, Ibnu Atha’illah menasihatinya bahwa jika Allah membukakan untuknya satu dari sekian pintu makrifat seperti merasakan kehadiran dan pengawasan Allah atau menyadari bahwa pelaku ibadah sesungguhnya adalah Allah dan menyadari dirinya hanyalah objek penampakan perbuatan-Nya maka saat itu ia tidak perlu lagi merasa heran dan bertanya-tanya mengapa itu bisa terjadi sementara amal yang dilakukannya baru sedikit? Karena tujuan dari semua amal adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dibukakannya pintu makrifat adalah bukti bahwa Allah mengasihi dan menyayanginya. Bisa jadi, seseorang sedikit melakukan amal karena memang ia sedang sakit. Jika orang ini mendapatkan makrifat, misalnya dengan mengetahui bahwa sakit baginya lebih baik ketimbang sehat dan bahwa Allah Maha Melakukan apa yang dikehendaki-Nya, saat itu ia tidak perlu lagi mempertanyakan sedikit amalnya.

Allah membukakan untukmu pintu makrifat karena Dia ingin memperkenalkan Diri-Nya kepadamu, memberimu karunia-Nya, mendekatimu, dan menampakan sifat-sifat dan asma’-Nya untukmu. Tentu saja makrifat adalah karunia yang lebih besar dan agung untukmu dibandingkan amalan-amalan lahirmu untuk-Nya. Hadiah dari seorang budak, walaupun bernilai tinggi, tetap hina dan kecil dibandingkan hadiah dari seorang tuan walaupun itu sedikit. Hadiah dari seorang budak manfaatnya hanya akan dirasakan oleh dirinya sendiri, bukan tuannya.


Kesimpulannya, amal ibadah yang sedikit namun diiringi makrifat lebih baik daripada amal ibadah yang banyak tanpa makrifat. Jika seorang salik mendapatkan makrifat, ia harus segera menghadapkan hatinya kepada Tuhannya agar karunia makrifat dari Tuhannya itu ditambah. Ia juga harus lebih memedulikan  makrifat tersebut ketimbang amalan-amalan lahir yang dilakukannya. Oleh sebab itu,amalan lahir para ’arif yang dilakukan di akhir usia mereka cenderung menurun.  Mereka selalu merindukan masa-masa dahulu ketika mereka mendapat banyak cahaya karena banyaknya amal yang mereka lakukan.