Monday, December 7, 2015

Apabila Allah telah membuatmu jemu dengan makhluk, ketahuilah bahwa Dia hendak membukakan untukmu pintu kemesraan dengan-Nya.

Apabila Allah telah membuatmu jemu dengan makhluk, ketahuilah bahwa Dia hendak membukakan untukmu pintu kemesraan dengan-Nya.
- Ibnu Atha’illah al-iskandari-
Diantara contoh sikap jemu terhadap makhluk adalah merasa muak ketika melihat perilaku manusia, merasa lelah menyembunyikan rahasia dari mereka, atau merasa bahwa mereka tidak dapat mencukupi kebutuhanmu sama sekali. Dengan perasaan jemu ini, Allah hendak membukakan pintu kedekatan-Nya denganmu. Jika Dia telah membukakan pintu itu dan menyerumu dengan panggilan-Nya, kau akan menjadi milik-Nya sendirian sehingga kau akan membenci selain-Nya.
Ini seperti yang dialami Abu Yazid. Dikisahkan bahwa ia mendapatkan berbagai keajaiban dan keistimewaan. Kepadanya di tanyakan,”Apakah semua itu membahagiakanmu?” Dia menjawab, ”Saya tidak sedikitpn merasa bahagia dengan ini semua.” kemudian, kepadanya dikatakan,”Kau benar-benar hamba Allah yang sejati.”

Sebaik-baik waktumu adalah ketika kau menyadari betapa tergantungnya dirimu kepada Allah dan betapa hinanya dirimu

Sebaik-baik waktumu adalah ketika kau menyadari betapa tergantungnya dirimu kepada Allah dan betapa hinanya dirimu.
Ini dianggap waktu terbaik karena pada waktu ini kau merasa hadir dengan Tuhanmu. Kaupalingkan pandanganmu dari segala media, sarana dan sebab-sebab yang membuatmu semakin jauh dari-Nya. Lain halnya ketika kau merasa kaya dan mulia, maka itu adalah waktu terburuk bagimu.
Dikisahkan dari ’Atha as-Silmi bahwa ia, selama tujuh hari, tidak mencicipi sedikitpun makanan dan tidak bisa melakukan apa-apa. Namun hatinya bahagia mengalami hal itu. Ia berkata,”Tuhanku, sekiranya Engkau tidak memberikan makan tiga hari lagi ke depan, aku akan shalat menyembahmu seribu rakaat.”
Diceritakan pula bahwa suatu malam, Fatah al-Mushili pulang kerumahnya. Ia Tidak mendapati hidangan makan malam, lampu penerang dan tidak pula kayu bakar. Ia tetap memuji Allah dengan mengucap alhamdulillah seraya beribadah kepada-Nya. Ia berdoa, ”Tuhanku, dengan sebab dan wasilah (perantara) apalagi agar engkau memperlakukanku seperti memperlakukan para wali-Mu?”
Demikian pula yang terjadi pada Fudhail bin Iyyadh. Ia berkata, ”Dengan amal apa lagi supaya aku layak mendapatkan hal ini dari-Mu agar aku terus mengalaminya?”
Banyak kejadian serupa yang terjadi pada orang-orang yang dekat dengan Allah. Oleh sebab itu, Ibnu Atha’illah berkata,”kebutuhan adalah hari raya para murid.”

Kefakiran adalah sifat dasar manusia

Kefakiran adalah sifat dasar manusia
Ketergantungan kepada Allah adalah hakikatmu. Sedangkan munculnya sebab-sebab ketergantungan adalah pengingat akan hakikatmu yang tak kau sadari itu. Dan ketergantungan yang bersifat hakiki itu takkan mungkin pernah terpenuhi oleh sesuatu yang nisbi.
Jika kau mengerti bahwa kau tidak mungkin ada tanpa adanya bantuan Allah, berupa nikmat penciptaan dan pemenuhan semua kebutuhanmu, maka sudah semestinya kau sadar bahwa ketergantungan kepada Allah adalah hakikat atau substansi dirimu.
Namun kebanyakan manusia tidak menyadari hakikat diri mereka, terutama ketika mereka sedang diberi nikmat kesehatan dan kekayaan. Bahkan lebih dari itu, mereka tidak hanya lupa terhadap hakikat diri mereka tetapi juga lupa terhadap Tuhan mereka. Oleh karena itu, Allah menurunkan kepada mereka ”sebab-sebab ketergantungan kepada Allah” agar mereka kembali sadar dan ingat. ”Sebab-sebab ketergantungan kepada Allah” itu bisa berupa penyakit, rasa lapar, haus, panas, dingin dan sebagainya.
”Sebab-sebab ketergantungan kepada Allah” itu akan membuatmu sadar dan ingat kembali akan hakikat dirimu, yang sebelumnya tertutup oleh kesehatan dan kekayaan. Sehingga di saat itu pula kau akan melaksanakan hak-hak ’Ubudiyyah kepada Allah, dan berdoa kepada-Nya agar memenuhi kebutuhanmu dan menghapus segala deritamu.
Sebagian orang mengatakan, ”Yang membuat Fir’aun berani mengaku sebagai tuhan adalah karena ia selalu dalam keadaan sehat dan bugar selama empat puluh tahun. Ia tidak pernah sakit meskipun itu sakit kepala. Kekayaanya melimpah dan kekuasaanya tak terbatas. Karena itulah ia merasa seperti Tuhan. Seandainya ia sakit, sekali saja, atau merasa bosan dengan kehidupan, niscaya itu akan menghalanginya untuk mengaku diri sebagai Tuhan.”
Dan ini pula yang terjadi pada mayoritas manusia. Kecuali orang-orang yang ’arif. Karena mereka selalu menyadari hakikat diri mereka. Dan mereka tidak perlu lagi diingatkan. ”Sebab-sebab ketergantungan” yang Allah timpakan kepada mereka hanyalah untuk memperlihatkan kesungguhan penghambaan mereka.
Cobaan dan penderitaan hidup justru semakin membuat mereka merasa tergantung kepada Allah, semakin membuat mereka taat dan kembali kepada-Nya. Dan dengan keridaan dan kepasrahan yang mereka perlihatkan itu, pahala mereka semakin bertambah dan kedudukan mereka di mata Allah pun semakin mulia.
”Ketergantungan kepada Allah” yang merupakan hakikat atau substansi manusia ini tidak mungkin bisa dihilangkan oleh sesuatu yang bersifat sementara atau nisbi. Dengan kata lain, walaupun kau kaya, sehat atau berkuasa, tetap saja kau tidak bisa lepas dari ketergantungan kepada Allah. Kekayaan, kesehatan ataupun kekuasaan adalah relatif dan sementara. Bukan perkara yang sulit bagi Allah untuk menghilangkan itu semua dari dirimu dan menggantinya dengan sebaliknya. Sehingga kau benar-benar merasa betapa hidup ini tergantung kepada Allah.

Mula-mula. Dia memberimu nikmat penciptaan, lalu memenuhi semua kebutuhanmu secara terus menerus.

Mula-mula. Dia memberimu nikmat penciptaan, lalu memenuhi semua kebutuhanmu secara terus menerus.
Sekirannya seorang hamba mengetahui bahwa awal dan kesinambungan wujudnya dari Allah, niscaya dia mengetahui bahwa kebutuhan adalah sifat aslinya. Maka dari itu, ia amat membutuhkan pertolongan Allah karena setelah berwujud, setiap saat ia teramat miskin dan papa. Ia amat membutuhkan pertolongan dan pemenuhan kebutuhan.
Berikutnya, pertolongan Ilahi ini pun datang berturut-turut kepadanya. Ada yang berupa makanan untuk membuatnya kenyang dan menguatkan tubuhnya. Ada pula yang berupa makanan untuk ruhnya, seperti keimanan, ilmu dan pengetahuan.
Pertolongan Ilahi yang pertama meliputi seluruh makhluk, mukmin maupun kafir, seperti halnya nikmat penciptaan. Namun, pertolongan kedua khusus untuk kaum mukmin saja.

Dalam Kemunculan dan Kelestariaanya, Alam Membutuhkan Allah

Dalam Kemunculan dan Kelestariaanya, Alam Membutuhkan Allah
Ada dua nikmat yang pasti dialami dan dirasakan oleh semua makhluk, nikmat penciptaan dan nikmat pemenuhan kebutuhan.
Kedua nikmat ini dirasakan oleh setiap yang berwujud. Setiap yang ada, awalnya tidak ada dan nihil. Nikmat penciptaan telah menghilangkan ketiadaan itu darinya sehingga ia menjadi ada. Tanpa ada nikmat itu, niscaya ia tetap tidak ada. Sesuatu yang tidak ada itu tentu tidak berharga.
Ketika keberadaanya membutuhkan pertolongan Ilahi agar sosok dan rangka fisiknya tetap ada. Allah membantunya dengan memberinya manfaat dan melindunginya dari bahaya. Oleh karena itu, nikmat penciptaan telah menghilangkan ketiadaan sebelumnya, sedangkan nikmat pemenuhan atau bantuan Ilahi dapat menghilangkan ketiadaan sesudahnya dan menggantinya dengan wujud yang berkesinambungan.
Tanpa nikmat penciptaan, segala sesuatu tidak akan keluar dari ketiadaan menuju wujud. Ia akan tetap ma’dum (tidak ada). Kemudian, tanpa nikmat pemenuhan dan bantuan Allah, wujud segala yang ada tidak akan sempurna. Ia tidak akan kekal, bahkan ia akan cepat rusak dan luluh lantak dalam waktu yang singkat. Semuanya berlaku pada seluruh makhluk, yang tinggi maupun yang rendah.

Maksiat yang Melahirkan Kehinaan Lebih Baik daripada Taat yang Mengakibatkan Kesombongan

Maksiat yang Melahirkan Kehinaan Lebih Baik daripada Taat yang Mengakibatkan Kesombongan
Maksiat yang melahirkan rasa hina dan kekurangan lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan rasa bangga dan kesombongan.
Tak tahu bahwa kehinaan dan kekurangan termasuk sifat-sifat ’ubudiyyah (kehambaan seorang manusia). Memiliki kedua sifat ini dapat mengantarkan seseorang ke hadirat Ilahi. Sementara itu, sombong dan angkuh merupakan sifat-sifat rububiyyah-Nya yang hanya layak dimilikioleh Allah. Sifat ini dapat membuat seseorang rendah, hina dan tidak diterima.
Abu Madyam berkata,”Kekalahan seorang pemaksiat lebih baik daripada kemenangan seorang yang taat.”

Adakalanya Dia membukakan pintu ketaatan untukmu, namun tidak membukakan pintu penerimaan. Adakalanya Dia menetapkanmu berbuat dosa, namu ternyata dosa itu menjadi sebab sampainya dirimu kepada-Nya.

Adakalanya Dia membukakan pintu ketaatan untukmu, namun tidak membukakan pintu penerimaan. Adakalanya Dia menetapkanmu berbuat dosa, namu ternyata dosa itu menjadi sebab sampainya dirimu kepada-Nya.
- Ibnu Atha'illah Al -iskandari -

Hal itu dikarenakan, ketaatan terkadang disertai pula dengan kekurangan-kekurangan yang merusak keikhlasan seperti sifat ’ujub, sikap bergantung pada ketaatan itu dan kebiasaan merendahkan orang yang tidak melakukan ketaatan. Semua keburukan itu menghambat ketaatanmu untuk diterima Allah.
Disisi lain, dosa terkadang juga diikuti dengan permohonan perlindungan kepada Allah dan maaf dari-Nya, penghinaan terhadap diri sendiri, dan pengagungan yang tidak melakukannya. Oleh karena itu, dosa bisa menjadi sumber pengampunan Allah untuknya dan sampainya ia ke hadirat-Nya.
Atas dasar itu, seorang hamba tidak patut melihat penampilan lahir segala sesuatu, tetapi hendaknya ia melihat kepada hakikat dan intinya sehingga ia sedang taat, ia akan takut, namun, jika ia sedang bermaksiat, ia tetap berharap