Monday, August 31, 2015

Janji yang tak dipenuhi Tuhanmu pada waktunya jangan sampai membuatmu ragu, agar keraguan itu tidak menjadi perusak pandanganmu dan pemadam cahaya kalbumu



Jika Allah menjanjikanmu melalu mimpi. ilham atau melalui  perantara malaikat-Nya bahwa pada masa tertentu kelak kau akan mendapatkan kemenangan atau kesejahteraan, lalu janji itu tak terwujud pada waktunya, hal itu jangan sampai membuatmu ragu akan kebenaran janji-Nya. Bisa jadi pemenuhan janji itu bergantung pada beberapa sebab dan syarat, dan hanya Allah yang tahu hikmah di balik itu.

Contohya yang terjadi pada beberapa wali Allah, yang dijanjikan bahwa kelak, di tahun sekian, mereka akan meraih kemuliaan, Namun kemudian, pada tahun yang di janjikan itu, orang-orang justru banyak yang menghina dan menjatuhkan kehormatannya. Begitu juga yang terjadi pada Rosulullah di tahun perjanjian Hudaibiyah. Saat itu, Rosulullah dijanjikan Allah mendapat kemenangan, Namun ternyata, kemenganan tersebut tidak terjadi di tahun itu, tetapi di tahun sesudahnya.

Jika seorang murid mendapat janji dati Tuhan Yang Maha Rahmat, tetapi janji itu belum terwujud, ia tidak boleh meragukan janji tersebut. Ia harus tahu diri dan tetap bersikap sopan terhadap Tuhannya serta tetap tenang menanti janji itu. Ia tidak patut sangsi dan goyah keyakinan menghadapinya. Barang siapa melakukan hal itu, berarti ia telah mengenal Tuhannya ('arif), berpandangan sehat, dan berhati terang. Jika tidak, berarti sebaliknya, ia tidak mengenal Tuhannya, memiliki pandangan yang rusak, dan berhati gelap.

Thursday, August 27, 2015

Di tundanya Pemberian Allah Jangan Melemahkan Semangatmu untuk meminta



Allah swt. menegaskan bahwa Dia akan mengabulkan semua doa. Dia berfir'man, "berdoalah kepada-Ku, niscaya akan kuperkenakan bagimu." (QS. al-mu'min,60)

Doa yang pengabulannya ditunda, mungkin lebih baik bagi seorang murd daripada doa yang pengabulannya disegerakan. Karena bisa jadi, penundaan doa itu ditujukan agar ia semakin bersungguh-sungguh dalam beribadah dan semakin merasa takut kepada Allah. Dalam situasi ini, biasanya setan akan datang dan membisikinya, " jika bernar tekadmu kuat, Tuhanmu pasti sudah mengabulkan doamu, menghilangkan sifat-sifat kemanusiaanmu yang buruk, dan mewujudkan segala keinginanmu. " Sehingga sang murid pun tidak sadar bahwa ditundanya pengabulan doa itu adalah lebih baik baginya.

Bisa jadi pula, ditundanya pengabulan doa tersebut, disebabkan oleh sifat buruk sang murid yang terlalu banyak dan tidak bisa dihilangkan kecuali dengan waktu yang lama, sehingga mujahadah dan riyadhah yang dilakukannya masih belum berpengaruh pada pengabulan doa-doanya.

Orang-orang 'arif mengumpamakan alam ini dengan tanah yang dipenuhi tubuhan berduri. Kadang durinya besar-besar dan banyak sehingga sulit dilalui dan bisa melukai. Kadang durinya kecil-kecil, sedikit dan mudah dihilangkan. Demikian pula sifat-sifat jiwa, ada yang sangat buruk dan berjumlah banyak sehingga untuk menghilangkannya butuh waktu lama dan perjuangan panjang. Terkadang sifat-sifat itu tidak terlalu buruk dan hanya sedikit sehingga tidak perlu waktu lama dan perjuangan panjang untuk membersihkannya. Ketika tujuan utuma seseorang murid adalah menghilangkan sifat buruk jiwa, meski itu memakan waktu lama dan berkhir di ujung usia, semua penderitaan dan perjuangan di masa itu tidaklah seberapa dibandingkn dengan tujuan utama itu.

Wednesday, August 26, 2015

Kegigihanmu dalam mencari apa yang telah dijamin untukmu dan kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu menjadi bukti butanya mata hatimu.


Maksud dari "apa yang telah dijamin" ialah rezeki dan karunia Allah.

Allah swt. berfirman, "Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (QS. al-'ankabut, 60)

Sementara itu, maksud dari "kekuranganmu dalam melaksanakan apa yang diminta darimu" ialah kekurangan dalam melaksanakan amalan-amalan yang bisa membimbingmu menempuh jalan menuju Tuhanmu, seperti zikir, shalat dan wirid. Allah swt. berfirman " Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku" (QS. adz-Dzariyat,56)

Yang dituntut dari seorang murid ialah terus berusaha memberi makan ruh dengan zikir-zikir kepada Allah dan melakukan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, bukan memberi makan yang lainnya karena itu sudah menjadi wewenang Tuhannya.

Buta mata hati maknanya, hati tidak lagi bisa melihat berbagai perkara maknawi, sebagaimana mata dapat melihat perkara-perkara indrawi.

Dalam hikmah diatas,Ibnu Atha'illah menggunakan lafal "kegigihan" untuk menyatakan bahwa rezeki yang dilakukan sekadarnya dan tanpa kegigihan tidak dilarang bagi seorang murid karena tidak menyebabkan buta mata hatinya.

Istirahatkan dirimu dari kesibukan mengurusi duniamu. Urusan yang telah Diatur Allah tak perlu kau sibuk ikut campur.



Seseorang kerap merencanakan berbagai hal bagi dirinya sesuai keinginan nafsunya. Kemudian, untuk menggapai rencana yang telah ditetapkannya itu, ia melakukan berbagai pekerjaan yang menyibukan dirinya. Tentu saja, hal ini akan membuatnya lelah. Bahkan mungkin pula kecewa, terutama bila sebagian besar perkara yang telah direncanakannya itu tidak berhasil diwujudkan.

Dengan menggunakan lafal "istirahat", Ibnu Atha'illah ingin menjelaskan kepada para murid bahwa mereka dituntut untuk meninggalkan segala perkara yang menyebabkan keletihan dan penderitaan. Kecuali, jika perencanaan dan pengaturan tersebut ditujukan untuk sekadar memenuhi tuntutan hidup dan tak sampai memberatkan. Tentu saja, hal ini tidak akan merugikan diri. Bahkan, pepatah mengatakan, " Perencanaan adalah setengah dari kehidupan".

Urusan-urusan yang telah diatur Allah hendaknya dijauhi oleh seorang murid. Ia tak perlu lagi sibuk mengurusi apa telah ditangani Allah karena tindakan semacam itu termasuk sikap "sok tahu " yang tak layak dilakukan oleh orang yang berakal. Lagi pula, tindakan itu bertentangan dengan prinsip rububiyyah (kepengaturan) dan takdir Allah, selain juga bisa melalaikan ibadah.

Hikmah diatas ditujukan sebagai peringatan bagi para murid karena biasanya apabila seorang murid sedang menghadap Tuhannya dan sibuk dengan zikir-zikir dan ibadah-ibadahnya, seluruh sebab penghidupan duniawi akan terputus darinya. Saat itulah, setan datang dan mulai membisikinya, mengiming-iminginya dengan berbagai hal yang sebagian besarnya tidak akan pernah terwujud. Bisikan setan itu kemudian akan membuat si murid lalai, bahkan meninggalkan kebiasan zikir dan ibadah. Tips untuk menghindari itu ialah banyak berzikir dan riyadhah (olah jiwa). Dengan zikir dan riyadhah, seorang murid akan dijauhi setan dan terhindar dari kesibukan menyusun rencana ini dan itu yang membuatnya letih. 

Orang 'Arif Tidak mencampuri Urusan Allah



Tekad adalah kekuatan jiwa yang bisa mempengaruhi segala sesuatu. Orang-orang sufi menyebutnya dengan himmah. Tekad ini takkan berpengaruh apa-apa, kecuali dengan takdir dan ketentuan Allah.

Hikmah diatas menguatkan hikmah sebelum dan sesudahnya. Seakan Ibnu Atha'illah ingin menyatakan bahwa keinginanmu tidak akan ada gunanya bila berbeda dengan keinginan Tuhanmu. Jika tekad yang kuat saja tidak akan membuahkan hasil apa-apa, kecuali dengan takdir dan izin Allah, apalagi tekad yang lemah, seperti halnya tekadmu, wahai murid. Hikmah ini ditujukan untuk mendinginkan api ketamakan yang menyala-nyala di dalam hatimu yang selalu yakin bahwa segala sesuatu itu bergantung pada usuhamu sendiri dan pasti berhasil.

Sikap Orang 'Arif ketika Dianugerahi Ahwal Tajrid dan Ahwal Istyghal



Tajrid adalah sebuah kondisi dimana seseorang tidak memiliki kesibukan duniawi. Sebaliknya, Isytighal adalah sebuah kondisi dimana seseorang memiliki kesibukan duniawi. Dan yang dimaksud kesibukan duniawi adalah kesibukan-kesibukan yang tujuan akhirnya bersifat keduniaan, seperti bekerja atau berdagang.

Keinginanmu untuk menjauhi semua sarana penghidupan duniawi dan tidak mau berpayah-payah dalam menjalaninya, padahal Allah telah menyediakan semua sarana itu untuk kaujalani, bahkan saat menjalaninya pun agamamu tetap terjaga, sifat tamak tetap jauh darimu, ibadah lahir dan keadaan batinmu juga tidak terganggu, maka keinginan semacam itu termasuk syahwat yang tersamar.

Dianggap "syahwat" karena kau tidak mau menjalani kehendak Tuhanmu dan lebih memilih kehendakmu sendiri.  Disebut " tersamar" karena sekalipun pada lahirnya keinginanmu ialah menjauhi dunia dan mendekatkan diri kepada Allah, namun keinginan batinmu yang sebenarnya ialah agar mendapatkan popularitas dengan ibadah dan kewalianmu supaya orang-orang mendatangimu dan menjadikanmu panutan. Untuk itulah, kaupun rela meninggalkan apa yang telah menjadi kebiasanmu, yaitu mencari kehidupan duniawi.

Orang-orang 'Arif menyatakan bahwa kedekatan manusia dengan seorang murid yang belum mencapai kesempurnaan bisa menjadi racun pembunuh bagi diri murid itu. Karena bisa jadi, murid itu akan terdorong untuk menjauhi kewajiban-kewajiban ibadah dan zikirnya karena ia lebih suka mengharap apa yang akan diberikan oleh manusia.

Sebaliknya, keinginanmu untuk bekerja dan berusaha keras mencari penghidupan duniawi, padahal Allah telah menyediakannya untukmu dengan mudah tanpa harus bersusah payah, misalnya dengan dipenuhinya semua sandang dan panganmu, dan kau pun tetap merasa tenang dan damai meski kekurangan, bahkan kau tetap bisa saja terus beribadah dengan tekun, maka sikap seperti itu sama saja dengan mundur dari tekad luhur. Karena kau sekarang cenderung bergantung kepada makhluk, padahal sebelumnya kau bergantung kepada sang Khalik.

Sebenarnya, berbaur dengan orang-orang yang sibuk mengurusi dunia saja sudah cukup membuat tekad luhurmu ternodai. Oleh karena itu, yang wajib bagi para salik (peniti jalan menuju Allah) ialah tetap diam di tempat yang telah ditetapkan dan diridhai oleh Allah untuknya, sampai Allah sendiri yang akan mengeluarkannya dari tempat itu. Hendaknya ia tidak keluar sendiri dari sana atas kehendak sendiri atau karena bisikan setan sehingga ia akan tercebur ke lautan terasingan dan jauh dari Allah, na'udzubillah..

Tuesday, August 25, 2015

Sikap Orang 'Arif ketika Khilaf


Amal yang dimaksud disini adalah amal ibadah, seperti shalat dan zikir. Ada dua kelompok orang yang mengandalkan amal mereka atau menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah (bukan pada Allah secara murni). Mereka itu adalah para 'Abid (orang yang tekun ibadah) dan para murid (orang yang menghendaki kedekatan dengan Allah). Golongan pertama menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya sarana untuk meraih surga dan menghindari siksa Allah. Sementara itu, golongan kedua menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya cara yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, menyikap tirai penghalang hati, membersihkan keadaan batin, mendalami hakikat ilahiah (mukasyafah), dan mengetahui berbagai rahasia ketuhanan lainnya.

Kedua golongan ini sama-sama tercela, karena tindakan dan keinginan mereka terlahir dari golongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih. Mereka menganggap amal ibadah sebagai perbuatan diri mereka sendiri dan yakin bahwa amal ibadah itu pasti aka membuahkan hasil yang mereka ingnkan.

Berbeda halnya dengan orang-orang yang mengenal Tuhan dengan baik ('arif). Mereka tidak bergantung sedikitpun pada amal ibadah yang mereka lakukan. Menurut mereka, pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu ialah Allah swt. semata, Sedangkan mereka hanyalah objek penampakan dari semua tindakan dan ketentuan Allah swt.

Dalam hikmah diatas, Ibnu Atha'illah menyebut salah satu tanda orang-orang yang menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah yang mereka lakukan, bukan pada Allah secara murni. Tujuannya, supaya setiap hamba bisa mengenali siapa dirinya dan termasuk golongan mana ia. Apabila, di saat maksiat dan dosa, ia kehilangan harapan pada Allah yang Maha Rahmat yang akan memasukannya ke surga, menyelamatkannya dari azab, dan mewujudkan semua keinginannya, ia termasuk gologan 'abid atau murid. Namun, Apabila merasa dirinya nihil dan tak berdaya, ia termasuk golongan 'arif. Jika melakukan kesalahan atau maksiat dan lalai, seseorang yang termasuk golongan arif akan melihat perbuatannya itu sebagai ketetapan dan takdir Allah atas dirinya.

Demikian pula saat melakukan ketaatan atau mengalami musyahadah (merasa melihat Tuhan), golongan 'arif tidak memandang bahwa segala daya dan upayanyalah yang melakukan ketaatan dan kebajikan itu. Baginya, tak ada beda saat benar ataupun salah, saat taat maupun khilaf, karena ia tenggelam dalam lautan tauhid. Rasa takut dan harapnya dalam kondisi tetap dan seimbang. Maksiat tak pernah mengurangi rasa takutya kepada Allah dan ketaatanpun tidak menambah rasa harapnya kepada-Nya.

Maka dari itu, siapa yang tidak mendapati tanda seperti ini dalam dirinya, hendaknya ia berusaha mencapai maqam (kedudukan) 'arif dengan banyak melakukan olah batin (riyadhah) dan wirid.

Melalui hikmah diatas, Ibnu Atha 'illah ingin mendorong para salik(peniti jalan menuju Allah) agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah, termasuk bergantung pada amal ibadah.