Amal yang dimaksud disini adalah amal ibadah, seperti shalat dan zikir. Ada dua kelompok orang yang mengandalkan amal mereka atau menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah (bukan pada Allah secara murni). Mereka itu adalah para 'Abid (orang yang tekun ibadah) dan para murid (orang yang menghendaki kedekatan dengan Allah). Golongan pertama menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya sarana untuk meraih surga dan menghindari siksa Allah. Sementara itu, golongan kedua menganggap amal ibadah sebagai satu-satunya cara yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, menyikap tirai penghalang hati, membersihkan keadaan batin, mendalami hakikat ilahiah (mukasyafah), dan mengetahui berbagai rahasia ketuhanan lainnya.
Kedua golongan ini sama-sama tercela, karena tindakan dan keinginan mereka terlahir dari golongan nafsu dan sikap percaya diri berlebih. Mereka menganggap amal ibadah sebagai perbuatan diri mereka sendiri dan yakin bahwa amal ibadah itu pasti aka membuahkan hasil yang mereka ingnkan.
Berbeda halnya dengan orang-orang yang mengenal Tuhan dengan baik ('arif). Mereka tidak bergantung sedikitpun pada amal ibadah yang mereka lakukan. Menurut mereka, pelaku hakiki dari semua amal ibadah itu ialah Allah swt. semata, Sedangkan mereka hanyalah objek penampakan dari semua tindakan dan ketentuan Allah swt.
Dalam hikmah diatas, Ibnu Atha'illah menyebut salah satu tanda orang-orang yang menggantungkan keselamatan diri mereka pada amal ibadah yang mereka lakukan, bukan pada Allah secara murni. Tujuannya, supaya setiap hamba bisa mengenali siapa dirinya dan termasuk golongan mana ia. Apabila, di saat maksiat dan dosa, ia kehilangan harapan pada Allah yang Maha Rahmat yang akan memasukannya ke surga, menyelamatkannya dari azab, dan mewujudkan semua keinginannya, ia termasuk gologan 'abid atau murid. Namun, Apabila merasa dirinya nihil dan tak berdaya, ia termasuk golongan 'arif. Jika melakukan kesalahan atau maksiat dan lalai, seseorang yang termasuk golongan arif akan melihat perbuatannya itu sebagai ketetapan dan takdir Allah atas dirinya.
Demikian pula saat melakukan ketaatan atau mengalami musyahadah (merasa melihat Tuhan), golongan 'arif tidak memandang bahwa segala daya dan upayanyalah yang melakukan ketaatan dan kebajikan itu. Baginya, tak ada beda saat benar ataupun salah, saat taat maupun khilaf, karena ia tenggelam dalam lautan tauhid. Rasa takut dan harapnya dalam kondisi tetap dan seimbang. Maksiat tak pernah mengurangi rasa takutya kepada Allah dan ketaatanpun tidak menambah rasa harapnya kepada-Nya.
Maka dari itu, siapa yang tidak mendapati tanda seperti ini dalam dirinya, hendaknya ia berusaha mencapai maqam (kedudukan) 'arif dengan banyak melakukan olah batin (riyadhah) dan wirid.
Melalui hikmah diatas, Ibnu Atha 'illah ingin mendorong para salik(peniti jalan menuju Allah) agar menghindari sikap bergantung pada sesuatu selain Allah, termasuk bergantung pada amal ibadah.